Kamis, 27 Mei 2010

Tambak Inti Rakyat Udang di Lampung Antara Agrobisnis, Kemitraan dan Devisa

(Refleksi jadul)

KUNJUNGAN kerja Presiden Soeharto ke tambak inti rakyat (TIR) terpadu PT Central Pertiwi Bratasena (CPB), Lampung Utara, akhir September 1996, menggairahkan para petambak yang sebelumnya perambah hutan. Kehadiran Bapak Pembangunan untuk menyaksikan panen udang di tambak petani sangat berarti bagi subsektor budidaya laut di sana. "Apakah kalian mau kembali ke hutan?"

tanya Presiden Soeharto kepada para petambak. Semua menjawab dengan lantang, "Tidak, Pak.

Demikian salah satu cuplikan dialog Presiden dengan para petambak udang. Jawaban para petambak mengukuhkan kembali tekad mereka untuk memperbaiki dan meningkatkan ekonominya melalui tambak udang. Berdasar pengalaman panen pertama, yang disaksikan langsung Presiden Soeharto, para petambak tidak ingin menjadi perambah hutan lagi, karena "profesi" petambak lebih menjamin hidupnya. Dalam dialog dengan Presiden Soeharto, diketahui di antara mereka ternyata ada yang telah menjadi "petambak jutawan" (Kompas, 27/9). Presiden Soeharto menyatakan rasa senang dan gembiranya setelah mengetahui, bahwa para petambak saat ini hidupnya sudah semakin baik. Ketika mereka masih sebagai perambah hutan, penghasilan mereka setiap hari sangat minim, bahkan penghasilan sebulan tidak mencapai Rp 100.000. Hingga September 1996, CP Bratasena sudah menghimpun 1.900 kepala keluarga (KK) mantan perambah hutan sebagai plasma, dengan jumlah tambak yang sudah dibuka 1.900 unit. Rencana keseluruhan, inti akan membuka 23.900 ha, di antaranya untuk kepentingan plasma 16.000 ha. Untuk tahun 2001, inti menargetkan akan membuka 15.000 ha tambak lagi, untuk 15.000 KK yang semuanya perambah hutan.
***
SELAMA ini usaha tambak udang di beberapa daerah di Indonesia, masih terbilang lesuh dan belum bergairah. Kunjungan Presiden Soeharto ke TIR Terpadu Bratasena oleh beberapa pejabat dan investor di Lampung, dilihat sanggup memotivasi dan menggairahkan kembali usaha budidaya udang yang masih lesu di beberapa daerah itu. Gairah petambak udang Bratasena merupakan bagian dari isyarat dinamika pembangunan, khususnya kegiatan subsektor perikanan nasional, terutama lagi budidaya udang. Indonesia memiliki potensi budidaya laut yang amat besar, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan hutan pantai yang dapat dikonversikan untuk pertambakan, yakni seluas 850.000 km2.

Majalah World Shrimp Farming, yang mengkhususkan diri dalam pengkajian masalah udang, dalam laporan produksi Desember 1995 menyebutkan, Indonesia sebagai negara kepulauan yang penuh misteri. Munculnya persepsi ini berdasarkan kenyataan, bahwa sekalipun memiliki potensi besar, Indonesia ternyata masih belum mampu menjadi yang terbesar di dunia. Lihat misalnya, dari 712.000 metrik ton (MT) produksi udang dunia 1995, Indonesia hanya mampu menyumbang 80.000 MT (11,23 persen). Bila dibanding Thailand, yang memiliki garis pantai hanya 2.600 km, malah lebih dikenal sebagai raja udang, karena mampu menyumbang 220.000 MT atau 30,89 persen produksi udang dunia.

Johannes Kitono, salah satu pemerhati udang nasional, dalam percakapan dengan Kompas mengatakan, Indonesia tidak perlu pesimis menghadapi kondisi dan realitas tersebut. Bila dikelola secara bijak, dengan wawasan dan prinsip keseimbangan lingkungan, Indonesia bisa memimpin pasar (market leader) udang dunia. Apa artinya mengelola potensi perikanan, khusus budidaya udang dalam kerangka keseimbangan lingkungan? Kata Kitono, udang dari budidaya yang lestari dan berwawasan lingkungan memiliki daya saing tinggi di pasar dunia. Pasokan udang tangkapan semakin menurun, sedangkan permintaan pasar dunia akan udang naik 3-5 persen/tahun.

"Pasokan udang tangkapan makin berkurang karena terkurasnya sumber hayati laut menyusul penangkapan berlebihan dan mengabaikan prinsip kelestarian lingkungan," katanya. Embargo AS pada tanggal 1 Mei 1996, yang ditujukan pada udang penangkapan dari 36 negara, merupakan sinyal penting bagi Indonesia. Sebab dari total produksi udang head-on nasional yang 280.000 MT pada tahun 1995, 180.000 MT (64,28 persen) dari udang tangkapan - Produksi udang dunia berkisar 2.628.000 MT yang terdiri dari udang budidaya 733.000 MT (28 persen) dan udang penangkapan 1.895.000 (72 persen). "Untuk sementara, embargo AS memang masih menguntungkan kita, namun harus tetap diwaspadai. Karena LSM yang memperkarakan AS dan menang, malah masih bermaksud memboikot udang budidaya. Alasan LSM tadi, tambak udang merupakan hasil konversi hutan bakau, dan itu dianggap identik dengan tindakan merusak lingkungan," kata Kitono.

Di Lampung saja misalnya, menurut laporan Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas Lampung (Unila), hutan bakau yang tersisa di pantai timur Lampung hanya 930 hektar atau enam persen, dari total 17.000 ha (dengan panjang 210 km lebih). Kerusakan terjadi karena pembukaan tambak tradisional dilakukan secara tidak terkendali hingga membahayakan ekosistem pantainya. Hingga kini terdapat kurang lebih 31.106 kepala keluarga (KK) perambah hutan di Lampung. Pemda melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hanya mampu memukimkan 1.000 KK/tahun. Itu berarti perlu waktu 34 tahun lagi untuk memukimkan para perambah di luar kawasan hutan. Proyeksi ini tentu saja belum memperhatikan tingkat pertumbuhan penduduk Lam-pung, yang kini 2,67 persen/ tahun.

Sementara itu, untuk meraih pertumbuhan ekonomi 7,5 persen saja, Lampung membutuhan investasi sekitar Rp 1,4 trilyun, dan 70 persen di antaranya diharapkan dari swasta. Bisa dibayangkan lagi, dana dibutuhkan pasti akan semakin besar, bila daerah ini mau memacu pertumbuhan eknomi hingga 10,5 persen. Sarat dengan berbagai masalah tersebut, Pemda Lampung selalu berusaha mengundang calon investor yang bersedia menanamkan modalnya dibidang agrobisnis, yakni mengelola potensi sumber daya alam yang ada, yang diharapkan dapat bersaing di pasar dunia. Calon investor itu juga harus mampu menerapkan pola kemitraan secara imbang atau saling menguntungkan.

Menurut Kepala Dinas Perikanan Lampung, Ir Helmi Muchtar, agrobisnis di bidang budidaya udang di daerahnya menjanjikan pertumbuhan yang sangat prospektif. Lampung kini memiliki dua investor "raksasa" yang menerapkan konsep Tambak Inti Rakyat (TIR) terpadu, yang padat karya dan sarat kemitraan.


Dua investor tersebut, adalah Bratasena dan PT Dipasena Citra Darmaja. Namun Bratasena, yang kini sudah mencetak 1.900 ha lahan tambaknya (dari total 23.900 ha) baru melakukan panen pertamanya tahun ini. Sedang Dipasena yang rencananya mencetak 16.000 ha lahan tambak, pada tahun 1995 sudah berhasil mengekspor 19.194 MT udang dengan nilai 137 juta dollar AS. Bratasena mempunyai komitmen tambahan dengan Pemda Lampung, yakni merehabilitasi jalur hijau hutan bakau seluas 2.819 ha di sekitar proyeknya. Sabuk hijau berfungsi sebagai buffer zone terhadap gelombang yang menimbulkan abrasi pantai. Jalur hijau bakau juga dapat meningkatkan kualitas atau daya saing udang ekspor, sekaligus mengantisipasi penerapan ecolabeling oleh negara konsumen.

Selain itu komitmen tersebut, Pemda Lampung juga mengajak Bratasena untuk menampung mantan perambah hutan sebagai plasma mitra kerjanya. Kini
tercatat 1.900 KK perambah hutan, berhasil ditampung dari target tahun 2001 yakni 15.000 KK. Di sanalah keunikan proyek TIR Bratasena yang dikunjungi Presiden Soeharto, akhir September lalu. Semua petani plasma yang bermitra adalah mantan perambah hutan. Sedang teknologi budidaya yang digunakan adalah resirkulasi yang lestari dan akrab dengan lingkungan hasil rekomendasi WAS (World Aquaculture Society).

***
DUNIA pertanian Lampung, khusus subsektor perikanan masih yakin, bahwa budidaya udang memiliki masa depan yang prospektif. Kekurangan pasokan udang dunia di satu pihak, dan ancaman embargo udang tangkapan serta naiknya permintaan udang di pasar dunia sekitar 3-5 persen/tahun di pihak lain, tentu menjadi peluang bisnis tersendiri. "Peluang bisnis itu, ialah meningkatkan budidaya udang, yang menurut FAO, akan semakin menonjol peranannya setelah tahun 2000. Lampung berpeluang untuk itu," kata Johannes Kitono.

Dewasa ini saja, dari 10 jenis makanan laut favorit dunia, udang berada di posisi kedua setelah tuna. Udang juga tetap menjadi komoditas primadona ekspor subsektor perikanan. Bahkan dalam daftar 10 jenis produk utama Indonesia yang bernilai ekspor, udang berada di urutan kesembilan dengan nilai 1.137 juta dollar AS (data 1995). Tahun 1995 komoditas udang menyumbangkan 60 persen devisa ekspor perikanan nasional, dengan nilai yang diraih 1.137 juta lebih dollar AS. Lampung, yang pada tahun 1990 hanya mengekspor 300.000 kg atau 0,3 persen dari total ekspor udang nasional, pada tahun 1995 naik menjadi 10.194.000 kg (9,3 persen) dengan nilai 137 juta dollar AS (12 persen).

Dari berbagai sumber yang diperoleh Kompas menunjukkan, selama semester pertama tahun 1996, total ekspor udang tambak (budidaya) nasional mencapai 27.977 MT atau naik 2.037 MT (delapan persen) dibanding periode sama tahun 1995. Ekspor sebanyak itu dipantau melalui lima kota pelabuhan, yakni Jakarta, Surabaya, Bandarlampung, Medan, dan Ujungpandang. Menurut pengamatan Johannes Kitono, sulit membayangkan wajah sektor budidaya udang kalau tidak ditopang ekspor udang dari Lampung. "Ketika daerah lain pengekspor udang dengan susah payah mempertahankan kinerjanya, karena penyakit dan polusi, Lampung bahkan semakin meningkatkan kinerjanya, seperti terlihat tahun ini bila dibanding tahun sebelumnya,"katanya.

Ekspor udang Lampung semester pertama tahun ini, mencapai 4.947 MT atau melonjak 267 persen dari ekspor periode sama tahun 1995, yang hanya 1.347 MT. Kata Kitono, jika pola budidaya dan ekspornya tetap sama seperti tahun lalu, maka total ekspor 1995 (10.194 MT dengan nilai 137 juta dollar AS), akan dengan mudah dilewati. Proyek TIR Udang penghasil devisa itu, menurut Kitono harus diproteksi oleh pemda dari segala hal yang mengancam eksistensinya. Kiat yang dipakai Pemda Lampung menjalin kerja sama menguntungkan dengan perusahaan inti bisa menjadi model pembangunan untuk daerah lain di Indonesia dalam permasalahan yang sama maupun berbeda.

Tidak ada komentar: