Selasa, 25 Januari 2011

KRONOLOGIS SINGKAT & LAPORAN 'PROGRAM PENGAMANAN REVITALISASI DIPASENA' ( 2001 ~ 2010 )

1998 ~ 2001
• Krismon terjadi pada 1998 & pada 1999 plasma dipasena berontak dengan dipsena group ( perusahaan nursalim cs) karena faktor “PKS” dan “posisi hutang”nya.
• Plasma Tidak Koooperatif Dan Tidak Mau Bekerja Sama Lagi

AWAL 2002
• Dipasena group ( asset nursalim ) diambil alih oleh BPPN.
• ‘dipasena’ jadi tidak bernilai karena ‘petambak’ sebagai plasma tidak mau berkerja sama dengan ‘manajemen Pt Dipasena” sebagai ‘Inti’.
• BPPN bentuk “Tim Pemulihan’ yang menangani masalah ‘Sosial Kemasyarakatan’.

AKHIR 2003
• Plasma mau bekerja sama kembali dng inti karena adanya komitmen untuk menggunakan “PKS 2005” versi pemerintah ( dibuat oleh PT PPA, DKP, PEMDA, Inti & Plasma).

AWAL 2004
• Pemulihan Dipasena masuk program 100 hari ‘SBY’
• PT RECAPITAL ( Sdr.Sandiaga Uno & Sdr.Rosan ) terpilih oleh PT PPA menjadi Kreditur.
• PKS Pemerintah 2005 diabaikan oleh manajemen Recapital (Sdr.Rudyan Kopot cs) dan plasma dipaksakan untuk membuat ' PKS 2006'.

AKHIR 2006
• PT RECAPITAL ‘default’ dan Dipasena kembali diambilalih PT PPA.
• PT PPA membuat program kerja yang dinamakan ; "Penjualan Aset & Saham Dipasena Group Dengan Pengamanan Revitalisasi “.

MEI 2007
• PT PPA menjual Dipasena ke Konsorsium Neptune ( CPP/ PT AWS ) dengan harga 668m ( Nilai Aset +/- 19 Triliun).
• Neptune Konsorsium (CPP/ PT AWS menyanggupi syarat dan taruh dana 880 m di bank (Escrow Account) untuk jaminan pembiayaan plasma.


JUNI 2007
• PT PPA berusaha mencari pembenaran atas langkah kerjanya dengan menerbitkan surat no S-1607/ PPA/DU/0607.
• Secara khusus dalam surat itu PT PPA melempar tanggung jawab pengawasan kepada Pemda Tulang Bawang dan DKP untuk mengawasi jalannya pelaksanaan “Revitalisasi”.
• Ironisnya PT PPA tidak melakukan serah terima tugas secara formal tentang batasan pengawasan pelaksanaan Revitalisasi kepada DKP dan Pemda Tulang Bawang.

DEC 2007
• CPP mengabaikan himbauan “men DKP (surat ke men keu no b-151/men-kp, tgl 9/4/2009) agar tidak merubah 'PKS Pemerintah'.
• CPP/ PT AWS tetap paksakan kehendak merubah 'PKS pemerintah' menjadi pks model cpp/ aws, plasma terpaksa mengalah karena sudah sangat menderita.

FEB 2008
• Jadwal revitalisasi ke-1, dibuat oleh CPP dalam 12 bulan ( mei 2008~ mei 2009 ) dan juga disetujui plasma.

MARET 2008
• Revitalisasi tidak berjalan sesuai jadwal dan Plasma menegur ‘INTI’ (CPP/PT AWS) dan teguran diabaikan.

APRIL 2008
• Setelah plasma menyampaikan teguran lewat media maka 'Inti' (CPP/PT AWS) baru merespon.
• Repon ‘inti’ (CPP/PT AWS) diwujudkan dengan membuat perubahan jadwal sepihak. Jadwal revitalisasi ke-2 dirancang untuk diselesaikan dalam 18 bulan ( april 2008~sept 2009).
• Plasma tetap meminta "Inti" (CPP/PT AWS) menjalankan jadwal "revitalisasi ke-1" , tapi CPP/PT AWS tetap memaksakan kehendaknya. Plasma tidak memiliki posisi tawar....karena tidak ada perlindungan dari pemerintah.( plasma mengambil poisisi tidak menolak dan tidak menyetujui ).

JANUARI 2009
• CPP Group karena kecurangannya terkena Kasus Transhipment ( penipuan ekspor udang ) oleh pemerintah AS dan hal itu merugikkan pemerintah indonesia ( ref : lihat info terlampir ).
• CPP Group juga karena keserakahanya kembali terkena kasus Penalty 'FSA' (Pemerintah Inggris) karena kasus kwalitas udang yang dianggap mengandung 'antibiotik', kembali perilaku ini mencoreng nama Indonesia.

APRIL 2009
• Inti (CPP/PT AWS) secara sepihak merubah pelaksanaan revitalisasi ke-2 dan mengeluarkan jadwal revitalisasi ke-3, jadwal direncakanan menjadi ( april 2008~sept 2011).
• Plasma tetap meminta "inti" (CPP/PT AWS) menjalankan jadwal "revitalisasi ke-1" , tapi CPP/PT AWS tetap memaksakan kehendaknya. Plasma tidak mampu menolak karena tidak ada pilihan dan tidak memiliki perlindungan dari pemerintah sehingga Plasma terpaksa menyetujui karena sudah sangat menderita.

OKT 2009
• Kembali inti secara sepihak merubah pelaksanaan revitalisasi ke-3 dan mengeluarkan jadwal revitalisasi ke-4, jadwal direncanakan mundur minimal 1~2 tahun =(2013).
• Plasma tidak sepakat dan ‘demo’ ke Pemda Tulang Bawang (TUBA).
• Plasma menolak dan bersikeras meminta (CPP/PT AWS) melaksanakan komitmen sebagaimana "jadwal ke-1".

NOV 2009
• Pemda mempertemukan ‘Plasma’ & ‘Inti’ untuk cari solusi tapi Plasma tetap pada pendiriannya dan INTIpun tetap pada pendiriannya.
• Ketua organisasi plasma (P3UW, Sdr Nafian Faiz Dan Sdr Thowilun ) bertemu 'Men-DKP' di 'lampung untuk minta bantuan dan solusi.
• Men-DKP mendukung penuh keinginan plasma dan akan mengupayakan pemerintah untuk ambil alih 'REVITALISASI'.

DEC 2009
• Plasma dan Inti (CPP/PT AWS) kembali mengadakan pertemuan di lampung dan 'INTI' tetap tidak mau melakukan revitalisasi sesuai komitmen awal(sesuai jadwal-1).
• Tgl 14, 15 , 19 dan 24 plasma kampung 'Bumi Dipasena Jaya' memaksa inti untuk me-revitalisasi desanya dan melakukan penyegelan 'kantor kemitraan' inti di lokasi.
• Manajemen (CPP/PT AWS) menyampaikan keluhan ke pemda kabupaten tulang bawang tentang aksi plasma.
• Organisasi plasma (P3UW sdr Thowiliun) dalam sebuah acara 'Shrimp Club' di jakarta kembali meminta bantuaN 'Men-DKP' Fadel Muhamad.
• Menteri meminta waktu 2 bulan untuk mencarikan jalan keluar.

JAN 2010
• 'CPP Group' gagal bayar bunga obligasi kepada obligornya (Bni, Bri, Cimb, China Trust, Bank Permata Dan Bumi Putra) ... (Ref: Lihat Info Media Terlampir).
• Manajemen 'CPP Group' melempar opini kepada publik bahwa kegagalan bayar bunga obligasi karena 'tambak terkena - virus'
• 'CPP Group' sahamnya disuspend oleh 'BEI' (Bursa Efek Indonesia) akibat gagal bayar bunga obligasinya (Ref: Lihat Info Media Terlampir).
• Men-DKP mengancam bahwa akan ambil alih 'CPP' kalau revitalisasi tidak jalan (Ref: Lihat Info Media Terlampir ).


FEB 2010
• 'CPP Group' tanggal 1 feb kembali di suspend oleh 'BEI' karenakan lembaga pemeringkat internasional " Fitch Rating " pekan lalu menurunkan peringkat bunga dan notes obligasi 'CPP Group' hingga hampir default (resticte default/rd). (Ref ; Lihat Info Media Terlampir).
• Tgl 17 feb organisasi plasma difasilitasi dengan 'WALHI' kembali melakukan orasi pada saat acara dkp di hotel melia untuk kembali meminta bantuan 'Men-DKP' dan berlanjut menghadap ketua / anggt DPR Komisi IV.
• Men-DKP menerima plasma dan memberikan batas waktu 3 bulan untuk menjalankan 3 opsi kepada 'CPP' agar dapat menuntaskan revitalisasi ;
1. 1. Melanjutkan Revitalisasi dengan dana sendiri,
2. 2. Mencari sumber pembiayaan lain apabila dana perusahaan tak mencukupi.
3. Menjual aset tambak udang plasma pt aws kepada perusahaan lain jika perusahaan tidak mampu melanjutkan revitalisasi.mbak terkena - virus'.
• CPP Group kembali melakukan Rekayasa Hukum dan Rekayasa Keuangan sebagaimana yang diberitakan (http://www.kontan.co.id/index.php/investasi/news/30696/fitch-kerek-naik-peringkat-utang-cpro-ke-...)
• Karena adanya tekanan dari pemerintah yg menyatakan bahwa revitalisasi gagal dan macet INTI (CPP/PT AWS) melakukan loby ke plasma untuk menerima konsep "semi intensif", yaitu sebuah kegiatan budidaya yang mendekati budidaya tradisional.
• Pola kegiatan budidaya ini samasekali tidak mencerminkan Revitalsasi dan pola ini sangat menguntungkan (CPP/PT AWS) karena tidak perlu mengeluarkan dana besar untuk melakukan Revitalisasi.
• Saat ini INTI (CPP/PT AWS) menekan para Kepala Kampung untuk berbicara di media bahwa "Revitalisasi Tidak Macet".

MAR 2010
• INTI (CPP/PT AWS) berhasil menekan Ka.Kampung untuk membuat pernyataan bersama bahwa "Revitalisasi Berjalan" untuk mengcounter pemberitaan tentang fakta tidak berjalannya/ Gagalnya Revitalisasi. (Ref : info no 10, terlampir).
• 3 Ka.Kampung tidak mau terlibat menandatangani surat pernyataan bersama tersebut.
• Ka.Kampung yang menandatangani surat pernyataan karena mereka tidak mampu lagi bertahan dibawah politisasi (CPP/PT AWS).
• Tgl 9 bersama LSM KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan ) organisasi Plasma P3UW turut menghadiri acara ASC di jakarta dan meminta Pemerintah untuk bentuk tim investigasi untuk mengaudit macetnya Revitalisasi.

APRIL 2010
• Menteri DKP dan Media mulai mencium kenakalan CPP yang mencoba memelintir tanggung jawab Revitalisasi yang seharusnya di emban. ( Ref : Lihat lembar INFO-11,terlampirr).
• Menteri DKP secara tegas mengingatkan kembali melalui Media bahwa CPP diminta menjual asetnya kalau tidak mampu melaksanakan komitmen Revitalisasinya.
• Minggu ke 3 April Dirjen Bd Daya DKP menghubungi PT PPA untuk menggali dan bertanya tentang sejauh apa kewenangan Pemerintah dalam menyikapi realisasi Revitalisasi.

MEI 2010
• Hasil dari masukan yang diterima dari PPA dimanfaatkan oleh Dirjen Bd Daya malah untuk menghambat kebijakan Menteri DKP (lihat artikel KONTAN tgl 4 mei.....Ref lembar INFO-12,terlampir), ybs menjelaskan ke media bahwa Pemerintah tidak mempunyai wewenang untuk intervensi perihal pelaksanaan Revitalisasi.
• Petambak +/- 800 orang Demo di lokasi (tata kota) menuntut Revitalisasi ke CPP.
• Pada tanggal 4 mei CPP secara berani telah mengkounter Pemerintah ( Menteri DKP ) dengan pernyataan “Pemerintah tidak berwenang” melakukan kontrol dan koreksi terhadap pelaksanaan Revitalisasi.
• Pada tanggal 5 Mei CPP membuat Pers Conference di hotel sultan Jakarta dan mengeksploitasi oknum Plasma agar mengkounter opini publik tentang Macetnya Revitalisasi. Ironisnya ialah oknum Plasma malah di fungsikan sebagai alat untuk Mendeligitimasi Mentri DKP serta mendesak pemerintah membantu CPP membuat infra struktur, memberikan subsidi bahan bakar,dll yang mana itu seharusnya menjadi kewajiban CPP.(Ref : Lihat lembar INFO-12, terlmapir).

JUNI 2010
• Pada tanggal 11 Juni P3UW membuat surat terbuka bagi publik yang menceritakan ketidak adilan dalam penentua harga udang.
• LSM Kiara buat info media untuk minta dukungan masyarakat terhadap masalah iang dialami petambak Bumi Dipsena.
• Pada tanggal 16 juni Berita itu masuk ke media “Bisnis .com’
• Pada tanggal 18 Juni CP Prima menjawab dan mengcounter berita itu.(lihat lembar INFO-13,terlampir)

JULY 2010
• Otoritas bursa mendesak manajemen PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima) untuk menyampaikan kepada publik jalan tengah yang sudah disepakati dengan pemegang obligasi.
• Lembaga rating international, Fitch Ratings, menilai CP Prima kemungkinan besar tidak mampu membayar bunga kupon tepat waktu seiring kian memburuknya kinerja keuangan.
• Pemegang obligasi meminta CP Prima harus melunasi bunga kupon setiap tahun kendati utang baru jatuh tempo dua tahun mendatang.
• Bapepam Jumat (9/7/2010).
o ingin kepastian solusi penyelesaian gagal bayar tanpa harus mendorong manajemen CPRO untuk memperpanjang masa standstill agreement
o "Kami sudah kirimkan surat ke mereka untuk kasih penjelasan seperti apa. Senin ini," ujar Kepala Biro Penilaian Keuangan Sektor Riil Anis Baridwan di kantornya, Lapangan Banteng, Jakarta,
• Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) PT Aruna Wijaya Sakti (AWS) Nafian Faiz, Senin (19/7/2010), mengemukakan
o Program semirevitalisasi tambak plasma PT Aruna Wijaya Sakti, anak perusahaan PT Centralproteina Prima Tbk, dinilai tidak serius.
o Petambak plasma udang telah melayangkan surat kepada perusahaan tanggal 17 Juli 2010 guna mendesak pelaksanaan semirevitalisasi.
• Pemda Tulang Bawang secara resmi (via surat no 590/209...tgl 30 Juni 2010), secara tegas menyampaikan fakta gagalnya program revitalisasi dan mendorong ‘Men KP’ serta mendesak pemerintah pusat untuk mengambil alih tambak Dipasena dan Pemda TUBA siap mencarikan Investor baru. .(lihat lembar INFO-14,terlampir)


AGUSTUS 2010
• Terdapat beberapa ulasan dari media baik itu yang merupakan counter opini dari PT CPP , tanggapan publik terhadapa sikap tegas Bupati Tuba dan tanggapan Plasma terhadapa surat Bupati (lihat lembar INFO-15, terlampir).
• Tanggal 12 Agustus 2010 terjadi pemadaman listrik dimalam hari terutama di blok 2 selama 9 jam dan di blok 3 selama 3 jam, dari pemadaman listrik tersebut Plasma mengalami kerugian milyaran rupiah dan sampai saat ini persoalan tersebut belum terselesaikan indikasi Perusahaan tidak mau bertanggung jawab, sedangkan Plasma terbebani biaya listrik tidak kurang dari RP 15 juta per siklus budidaya.
• Perusahaan inti saat rapat di Kantor bersama 61 menyampaikan bahwa pelaksanaan Semi revitalisasi selesai dibulan Nopember 2010 dan penebaran seluruhnya terpenuhi di bulan Desember 2010.

SEPTEMBER 2010
• Tanggal 2 September 2010 terjadi gerakan masa + 100 s/d 200 orang yang mengakibatkan pengerusakan Pos Satpam dan Pemecahan kaca kaca jendela di pabrik penerimaan udang, gerakan tersebut dimungkinkan akibat kekecewaan para plasma yang selama ini merasa jenuh dan sebagainya.
• Tanggal 15 September 2010 Nafian Faiz (Ketua P3UW) dipanggil pihak Kepolisian ( POLDA) Lampung untuk dimintai keterangan sebagai saksi, Nafian Faiz hadir dan memberikan keterangan sebagai saksi.
• Tanggal 24 September 2010 Nafian Faiz (Ketua P3UW) Dipanggil kembali oleh pihak Kepolisian (POLDA) Lampung untuk dimintai keterangan sebagai tersangka. Surat panggilan diterima tanggal 24 Septenber 2010 siang hari.
• Tanggal 25 September 2010 Nafian Faiz(Ketua P3UW), Sigit Winardi, Anul Muhlis dan Abdurrahman membuat surat pernyataan ditujukan kepada pihak Kepolisian yang memanggil dengan isi surat pernyataan tersebut adalah “siap menghadiri panggilan tersebut pada hari Rabu tanggal 29 September 2010.”.
• Tanggal 27 September 2010 Nafian Faiz (Ketua P3UW) berangkat ke Jakarta dengan maksud meminta bantuan Hukum karena dirinya dijadikan sebagai tersangka atas kejadian tanggal 2 September 2010.
• Tanggal 28 September 2010 malam hari Nafian Faiz (Ketua P3UW) dan beberapa Penasehat Hukum berangkat kembali ke Lampung dengan maksud tanggal 29 September 2010 untuk menghadiri panggilan pihak Kepolisian (POLDA) Lampung sebagai mana surat pernyataan yang disampaikan.
• Tanggal 29 September 2010 sekira pukul 04.30 wib saat kapal air yang dinaikinya berlabuh di Pelabuhan Bakahuni Lampung maka mobil Rombongan Nafian Faiz (Ketua P3UW) di kepung oleh beberapa Polisi berpakaian preman, kemudian Nafian Faiz (Ketua P3UW) dipindahkan ke mobil Polisi dan langsung di bawa ke MAPOLDA Lampung.
• Dari tanggal 29 September 2010 s/d tanggap 22 Nopember 2010 posisi Nafian Faiz (Ketua P3UW), Sigit Winardi, Anul Muhlis dan Abdurrahman menjadi tahanan MAPOLDA Lampung. (lihat lembar INFO-16,terlampir).

NOVEMBER 2010
• Tanggal 23 Nopember 2010 Nafian Faiz (Ketua P3UW), Sigit Winardi, Anul Muhlis dan Abdurrahman dipindahkan ke Rutan Tulang bawang.
• Dengan perubahan Revitalisasi menjadi Semi Revitalisasi Petambak Plasma melakukan perehapan tambaknya dengan biaya sendiri.
• Dengan perubahan Semi Revitalisasi 11 blok yang ada pola pelaksanaan budidaya memakai system terbuka (open system) / tidak menggunakan tendon / penampungan air seperti 5 blok yang lain.
• Dengan berjalanya Semi Revitalisasi, tambak yang selayaknya untuk budidaya udang namun dari masing – masing Plasma yang memiliki 2 petak tambak dipergunakan 1 tambak untuk budidaya udang dan satu tambak lainya dipergunakan untuk penampungan air dan di isi ikan nila.

DESEMBER 2010
• Pelaksanaan Semi Revitalisasi dari 11 blok yang ada belum terpenuhi seluruhnya terutama pengiriman pendistribusian kincir air. Tentunya sampai bulan Desember 2010 belum semuanya dapat melakukan penebaran sesuai apa yang disampaikan pihak Perusahaan pada bulan Agustus 2010.

JANUARI 2011
• Semua Petambak Plasma berunjuk rasa ke perusahaan PT. AWS / PT. CPP.
• Tanggal 9 PT CPP mengundang plasma untuk meeting yang berakhir tanpa ada kesepakatan, karena pihak perusahaan tidak mau bermusyawarah dengan perwakilan plasma yang hadir karena dianggap tidak mewakili.
• Pihak plasma yang hadir adalah para plasma yang aktif dalam organisasi P3UW.
• Tanggal 12 Januari 2011, Bupati Tulang Bawang mengeluarkan surat no 590/ 59/ I.03/TB/2011, yang isinya mengajak Kementrian kelautan untuk membentuk Tim Evaluasi agar dapat menuntaskan masalah Revitalisasi yang terkatung katung.

http://id-id.connect.facebook.com/note.php?note_id=193353080674874
Baca Selengkapnya..

Senin, 17 Januari 2011

Ribuan Petambak Eks Dipasena Masih Duduki Aset CP Prima

Senin, 17 Januari 2011 | 08:50 WIB
TEMPO Interaktif, Lampung - Ribuan petambak plasma eks Dipasena masih bertahan menduduki seluruh aset milik CP Prima. Mereka berjanji akan terus bertahan hingga perusahaan membuat komitmen penyelesaian pemutusan penghentian kemitraan. “Sekarang tuntutan kami adalah perusahaan mau membicarakan pasca pemutusan kerjasama kemitraan,” kata Sukir J. Bintoro, Wakil Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu Dipasena, Senin (17/01).

Aksi para petambak menduduki aset PT. Aruna Wijaya Sakti—anak perusahaan CP Prima sudah berlangsung selama 12 hari. “Perusahaan inti sepertinya memang tak lagi bisa bekerja sama dengan petambak,” katanya.

Aksi pendudukan itu nyaris menimbulkan bentrokan antara petambak dan karyawan perusahaan kemarin. Perusahaan diduga mengerahkan ratusan karyawan untuk memprovokasi ribuan petambak yang sedang duduk-duduk di lokasi perusahaan. Beruntung bentrokan bisa dicegah ratusan anggota polisi dengan memisahkan dua kelompok massa tersebut.

Para petambak mempertanyakan tim khusus yang dikirim oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menurut petambak hingga saat ini tim itu tak pernah sampai ke lokasi mengumpulkan data di lapangan. “Menteri Fadel Muhammad mengatakan tim itu telah bekerja sejak awal pekan lalu. Tapi kami tidak melihat tim itu datang dan mengajak berbicara dengan para petambak. Itu aneh,” kata Thowilun, Wakil Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu Dipasena.

Para petambak, kata dia, tidak berharap banyak terhadap tim khusus itu. Mereka tidak perlu berpihak ke petambak. “Yang penting pemerintah itu netral dan jujur. Melihat kondisi lapangan lalu menyimpulkan apakah CP Prima becus menjalankan program revitalisasi,” ujarnya. “Ingat ada dana sekitar Rp. 1,7 triliun milik negara yang mereka kelola. Mestinya pemerintah serius,” dia menambahkan.

Nurochman Arrazie
http://tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2011/01/17/brk,20110117-306713,id.html Baca Selengkapnya..

Tim Kementerian Kelautan dan Perikanan Batal ke Dipasena

Senin, 17 Januari 2011 | 16:47 WIB
TEMPO Interaktif, Lampung - Kementerian Kelautan dan Perikanan mengaku belum mendapatkan data lengkap proses revitalisasi tambak bekas Dipasena. Padahal tim khusus bentukan Menteri Kelautan dan Perikanan itu telah bekerja selama satu pekan. “Kami baru mendapat laporan dan klaim sepihak dari CP Prima melalui PT Aruna Wijaya Sakti. Laporan dari petambak dan kondisi lapangan belum kami dapatkan,” kata Awal Marwiji, Kepala Sub Bidang Budidaya dan Perbenihan Skala Besar Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui sambungan telepon, Senin (17/01).

Tim, kata Awal, belum bisa masuk ke lokasi tambak yang saat ini masih diwarnai aksi unjuk rasa dan pendudukan aset oleh ribuan petambak plasma. Batalnya tim masuk ke lokasi itu setelah memperoleh masukan dari pihak Kepolisian Daerah Lampung. “Mereka tidak bisa menjamin keselamatan kami jika masuk ke lokasi,” katanya.

Menurut dia, CP Prima mengklaim revitalisasi telah selesai 98 persen pada 30 Desember lalu. Laporan itu, lanjut dia, belum bisa dijadikan acuan karena tim masih akan melihat fakta di lapangan. “Klaim CP Prima akan kita bandingan dengan fakta di lapangan karena ada dua klaim yang berbeda,” katanya.

Dia menegaskan akan masuk ke lokasi tambak begitu situasi kondusif dan tidak terjadi aksi unjuk rasa.

Sementara itu Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu Dipasena siap menjamin keselamatan dan membantu tim Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk mendapatkan data sebenarnya di lapangan. “Bila perlu dilakukan sensus atau dicacah satu persatu. Kami siap memberi akses penuh ke lokasi tambak,” kata Sukir J Bintoro, Sekretaris Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu Dipasena.

Petambak masih heran dengan klaim perusahaan yang menyatakan revitalisasi sudah selesai 98 persen. Padahal faktanya baru 6 dari 16 blok yang disentuh revitalisasi. “Itu pun dikerjakan asal-asalan” katanya.

Nurochman Arrazie

http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2011/01/17/brk,20110117-306902,id.html Baca Selengkapnya..

Minggu, 16 Januari 2011

SENGKETA PETAMBAK BEKAS DIPASENA PEMERINTAH TERJUNKAN TIM KHUSUS

Bandar Lampung - Pemerintah membentuk tim untuk menyelesaikan sengketa antara petambak plasma bekas Dipasena Citra Darmaga dan CP Prima, yang memanas sejak beberapa hari lalu. Ribuan petambak PT Aruna Wijaya Sakti, anak perusahaan CP Prima, menuntut revitalisasi tambak seluas 16 ribu hektare yang terbengkalai. Tuntutan ini berujung pada aksi pendudukan aset perusahaan.
"Pekan ini tim sudah bekerja dan turun ke lokasi," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad melalui pesan pendek kepada Tempo di Bandar Lampung kemarin. Tim bakal mengecek program revitalisasi yang menjadi bagian dari pengambilalihan aset milik pengusaha Syamsul Nursalim dari PT Perusahaan Pengelola Aset lima tahun lalu.

Fadel menyayangkan sikap tertutup CP Prima dalam menyelesaikan sengketa antara petambak plasma dan perusahaan inti. Padahal tambak udang bekas Dipasena merupakan aset penting untuk menggenjot produksi udang nasional. Akibat gejolak ini, produksi udang nasional berkurang. "Saya menyayangkan sikap CP Prima yang tidak kooperatif," katanya. Keputusan tentang sengketa diharapkan rampung dalam sepekan ini.
Langkah pemerintah disambut positif para petambak. Mereka menyatakan siap membuka seluruh akses menuju lokasi tambak agar tim mendapat data yang sebenarnya di lapangan. "Itu yang kami tunggu-tunggu," kata Thowilun, Wakil Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu Dipasena (P3UW). Para petambak sepakat memberi tenggat 15 Januari ini revitalisasi harus berjalan.

Tapi petambak ragu atas kemampuan CP Prima mengelola tambak modern melalui PT Aruna Wijaya Sakti. Mereka juga mempertanyakan dana revitalisasi dari pemerintah dalam bentuk dana standby di bank. "Dengan dana Rp 1 triliun perbaikan seharusnya selesai," katanya. Faktanya, baru 5 dari 16 blok yang direvitalisasi, tapi diklaim CP Prima sudah 95 persen yang direvitalisasi.
Akibat revitalisasi yang lambat, petambak terjerat utang hingga Rp 200 juta. Sebab, perusahaan memaksa petambak menandatangani akad kredit modal kerja dan investasi di sejumlah bank. Padahal sebagian besar penerima kredit belum bisa berproduksi karena tambak masih kering. "Kami belum tahu uang yang kami pinjam dari bank untuk apa," kata Sukri Bintoro, Sekretaris P3UW.

Menanggapi tudingan bersikap tertutup, Corporate Communication Manajer CP Prima George Basoeki mengatakan, pihaknya siap mengadakan pembicaraan bersama perwakilan petambak dengan mediasi pemerintah. "Kami siap," kata Basoeki sembari membantah tudingan bahwa pihaknya bersikap tertutup. Dia menilai para petambak memboikot dan keluar dari perundingan. "Itu yang kami sayangkan," katanya.
Basoeki mengklaim revitalisasi mencapai 95 persen dan sudah beres. Unjuk rasa petambak, kata dia, bukan karena revitalisasi, melainkan menuntut pembebasan Ketua P3UW Nafian Faiz, yang ditahan aparat kepolisian. Tapi Nafian, yang dihubungi Tempo di Rumah Tahanan Menggala, Tulangbawang, mengatakan unjuk rasa petambak tak ada urusan dengan penahanan dirinya. "Masalah utama, ya, lambatnya revitalisasi," katanya. | Nurochman Arrazie
________________________________________
Petambak Makin Terjepit
Tambak Dipasena adalah aset yang diberikan pemiliknya, Sjamsul Nursalim, sebagai penutup utang Rp 28,4 triliun kepada pemerintah pada 1998. Saat itu aset Dipasena dinilai Rp 20 triliun. Tapi nilai aset melorot tak lebih dari Rp 5,2 triliun karena utang petambak yang dijamin perusahaan macet.
Setelah dimiliki pemerintah lewat Perusahaan Pengelola Aset, Dipasena dilego ke konsorsium Neptune dan CP Prima. Konsorsium ini memenangi tender aset yang ditaksir Rp 21 triliun, tapi dibeli hanya dengan Rp 2,3 triliun. Harga itu pun cuma dibayar Rp 688 miliar dan sisanya masuk rekening penampungan untuk program revitalisasi tambak.
Selain revitalisasi, CP Prima wajib memperbaiki sarana perusahaan, saluran air dan menjamin petambak kembali produksi. Semua pekerjaan itu harus selesai dalam 18 bulan sejak penandatanganan kontrak pada 2007. Tapi revitalisasi tak kunjung beres. Sekitar 7.900 petambak terjerat utang ratusan juta rupiah.
Petambak setidaknya menanggung utang Rp 20 juta dari peninggalan Syamsul, Rp 125 juta utang modal ke Bank BNI, dan utang yang bertambah setiap bulan ke perusahaan inti Rp 900 ribu per bulan sejak revitalisasi pada akhir 2007. "Kalau revitalisasi tidak selesai, utang ini terus menggunung," kata Thowilun, Wakil Ketua P3UW. Nurochman Arrazie

Sumber http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2011/01/11/Ekonomi_dan_Bisnis/krn.20110111.223552.id.html
Baca Selengkapnya..

Petambak Eks Dipasena Hentikan Kemitraan dengan CP Prima

Rabu, 12 Januari 2011 | 07:53 WIB
TEMPO Interaktif, Lampung - Seluruh petambak plasma eks Dipasena sepakat memutus hubungan kemitraan dengan CP Prima sebagai perusahaan inti. Mereka menilai CP Prima melakukan wan prestasi dan banyak melanggar perjanjian kerja sama.

"Kami sudah tidak percaya lagi dengan kemampuan dan itikad baik CP Prima," kata Sukri J. Bintoro, Sekretaris Perhimpunan Udang Windu Dipasena, Rabu (12/01).

Pemutusan hubungan kemitraan sepihak itu dilakukan sekitar 5 ribu petambak yang mengikuti rapat akbar di lapangan yang berada di depan ruang pembeku udang PT. Aruna Wijaya Sakti milik CP Prima kemarin. Mereka beramai-ramai menandatangani surat pernyataan sikap bersama-sama di lapangan itu. "Selanjutnya akan diikuti oleh sekitar 2.900 petambak yang masih berada di lokasi tambak," katanya.

Langkah ribuan petambak itu merupakan puncak kekesalan terhadap CP Prima yang memenangkan lelang perusahaan tambak milik Syamsul Nursalim. CP Prima dianggap tidak mampu menyelesaikan program revitalisasi yang merupakan bagian dari pengambilalihan aset. "Revitalisasi semakin tidak jelas. Perusahaan terus mengulur-ulur waktu sehingga petambak sangat dirugikan," katanya.

Selain persoalan berlarut-larutnya program revitalisasi, petambak juga menilai CP Prima banyak melanggar kontrak perjanjian kerja sama yang telah disepakati. Pelanggaran itu di antaranya penentuan harga udang yang tidak mengacu pada harga di tiga cool storage yang telah ditunjuk Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung.

"Dalam menentukan harga udang, CP Prima bertindak seperti broker. Seenaknya sendiri menentukan harga sehingga udang berkualitas dari tambak kami dihargai jauh di bawah udang di pasaran lokal," katanya.

Rencananya surat pemutusan kerja sama dengan CP Prima itu akan dikirim ke Pemerintah Kabupaten Tulangbawang, Pemerintah Provinsi Lampung, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Menteri Keuangan di Jakarta dalam pekan ini.

Petambak mengaku sudah siap dengan risiko beban utang di bank serta utang lainnya yang menurut mereka tidak jelas itu. "Kami akan tebar udang mandiri, memperbaiki tambak secara gotong royong dan bersama-sama membangun bisnis udang. Banyak perusahaan yang siap menampung hasil tambak kami," katanya.

Dengan keputusan itu secara otomatis tim kelompok kerja yang terdiri dari Lembaga Manajemen Plasma Kampung, Kepala Kampung dan Badan Perwakilan Kampung dibubarkan. Petambak tidak lagi memberi mandat kepada tim itu yang dinilai selalu merugikan para petambak. "Dengan itu seluruh pembicaraan dengan CP Prima diputus dan tidak diakui," kata Thowilun, Wakil Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu Dipasena.

Saat ini ribuan petambak masih menduduki seluruh aset milik CP Prima. Pendudukan yang telah berlangsung sepekan lebih itu membuat aktivitas perusahaan lumpuh. Tidak ada aktivitas jual beli udang di gudang pembeku udang seperti hari-hari biasanya.

NUROCHMAN ARRAZIE
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa_lainnya/2011/01/12/brk,20110112-305566,id.html
Baca Selengkapnya..

Petambak Blokade Aset PT AWS

Selasa, 11 Januari 2011 | 03:33 WIB

Menggala, Kompas - Hampir sepekan ini, ribuan petambak plasma memblokade aset perusahaan milik PT Aruna Wijaya Sakti di Rawa Jitu, Provinsi Lampung.

Aksi tersebut dilakukan karena kesal terhadap sikap perusahaan yang dinilai tidak konsekuen mematuhi perjanjian kerja sama.

Sejak Rabu (5/1) hingga Senin Senin kemarin, sekitar 4.000 petambak udang eks Dipasena yang tergabung dalam Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) melakukan unjuk rasa dengan menduduki sedikitnya tiga fasilitas PT Aruna Wijaya Sakti (PT AWS), yaitu gedung pengolahan udang, kantor bersama, dan pos transportasi.

Para petambak plasma itu beramai-ramai keluar dari lokasi tambak mereka dan bergantian memblokir aset-aset perusahaan. Akibatnya, kegiatan produksi di pabrik udang ini nyaris lumpuh.

Aksi blokade semacam ini adalah yang kedua kalinya dilakukan dalam kurun tiga bulan terakhir. Menurut Mikalsum Libastib, perwakilan petambak yang berunjuk rasa, mereka menuntut dipenuhinya perjanjian kerja sama kemitraan antara plasma dan perusahaan inti (PT AWS), anak perusahaan PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima). ”Kami melihat pihak inti tidak punya komitmen terhadap kerja sama yang sudah disepakati,” ujar Mikalsum.

Mereka juga mendesak dibebaskannya para pengurus P3UW yang hingga kini terbelit persoalan hukum terkait kasus amuk massa petambak, September 2010. Mereka menilai terjadinya anarkisme petambak dipicu persoalan kemitraan antara inti dan plasma yang belum berjalan.

Secara terpisah, Corporate Communication Manager CP Prima Tbk George Basoeki mengemukakan, pendudukan fasilitas kantor oleh petambak plasma PT AWS sejak Jumat lalu telah merugikan proses produksi. Meskipun demikian, pihaknya belum bisa menyebutkan besar kerugian perusahaan.

Pihaknya, kata George Basoeki, tidak bisa membebaskan pengurus P3UW yang ditahan sebab saat ini proses hukum sudah berjalan.

”Petambak yang unjuk rasa silakan saja, tetapi jangan mematikan proses produksi,” ujar George.

Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Ketut Sugama mengemukakan, pihaknya sudah mengirimkan tim untuk menelusuri kasus itu.

Ketut meminta Kepolisian Daerah Lampung, Gubernur Lampung, Bupati Tulang Bawang, petambak plasma, dan CP Prima untuk berunding mencari jalan tengah penyelesaian. (JON/LKT)

Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/01/11/03332416/petambak.blokade.aset.pt.aws
Baca Selengkapnya..

Berantas Kejahatan CP Prima, Bebaskan Petambak!!

Petisi Bersama:

Yth. Rekan-rekan,
di tempat.

Menyikapi persoalan berkepanjangan dugaan pelanggaran HAM dan pengrusakan lingkungan yang dilakukan CP Prima, dengan ini kami sampaikan keprihatinan mendalam atas semakin kaburnya sendi–sendi Negara Hukum di Republik Indonesia akibat permasalahan tersebut.

Memperhatikan:

CP Prima adalah anak usaha Charoen Pokphand (CP Group), sebuah korporasi agribisnis asal negeri Thailand. Melalui tiga pertambakan udang di Indonesia, yakni Central Pertiwi Bahari (CPB), Wahyuni Mandiri (WM) dan Aruna Wijaya Sakti (AWS) / eks Dipasena, yang berlokasi di Provinsi Lampung dan Provinsi Sumatera Selatan; CP Prima menguasai produksi udang domestik. Pada tahun 2008, perusahaan mengekspor 409.590 ton udang atau 23,27 persen dari produksi udang budidaya nasional. Atas monopoli produksi benih, udang, pakan, antibiotik hingga pemasaran, di Asia, Eropa, AS, CP Prima menjadi eksportir besar di dunia (CP Prima. 2009: 2).

Pertambakan AWS atau eks Dipasena luasnya mencapai 16.000 ha atau 16 blok (mencakup di antaranya 36.132.000 m2 adalah tanah bersertifikat hak milik petambak). Sejak memenangkan tender atas pertambakan pada tahun 2007, CP Prima mengambil alih pertambakan dengan hanya membayar Rp688 milyar kepada pemerintah, dari banderol Rp2,388 trilyun. Sesuai dengan komitmen perusahaan, sisanya Rp 1,7 triliun, dibayar dalam bentuk rekening penampungan untuk revitalisasi.

Menimbang:

AWS/ CP Prima tidak memenuhi kewajiban revitalisasi. Prosesnya mencakup kegiatan perbaikan tambak, saluran air, penyediaan sarana teknis, guna menjamin petambak bisa kembali produksi. Komitmen awal penyelesaian revitalisasi adalah 18 bulan. Namun, hingga 41 bulan (Juni 2007- Oktober 2010) revitalisasi baru dilakukan di 5 blok, dengan kondisi sarana listrik, pengolahan air (tandon) dan lainnya tidak memadai. Petambak masih harus menanggung biaya perbaikan sarana, termasuk harga pakan dan benih yang makin mahal.

Revitalisasi tertunda di 11 blok tambak, yang kini kondisinya terbengkalai, berupa tanah jenuh penuh ilalang. Beberapa petambak terpaksa memakai modal pribadi guna perbaikan tambak. Oleh karenanya, dana revitalisasi sekitar Rp1,7 trilyun belum jelas sasaran penggunaannya, dan perlu diusut.

AWS/ CP Prima kerap memberi harga rendah untuk udang petambak, jauh lebih rendah
dari harga yang berlaku di pasar lokal. Di 5 blok tambak pasca revitalisasi, dengan produksi rata-rata 2,5 - 4 ton tiap panen, kerugian mencapai Rp 25-40 juta per petambak.

Jumlah utang petambak akan terus bertambah. Setiap petambak AWS terjerat utang berkisar antara Rp 150 juta hingga Rp 200 juta per kepala. Sebagian utang itu merupakan warisan pengusaha Syamsul Nursalim. Setelah desakan berulangkali, petambak menanggung utang setidaknya Rp 20 juta, ditambah Rp125 juta utang modal ke Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Niaga Syariah dan utang yang terus bertambah setiap bulan kepada AWS sebesar Rp 900 ribu per bulan, sejak program revitalisasi digulirkan.

Aksi protes petambak (2/9/ 2010), merupakan akumulasi kekecewaan umumnya petambak kepada AWS/CP Prima. Sehingga tuduhan perusahaan, bahwa Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) yang menyiapkan unjuk rasa tersebut secara khusus adalah tidak benar.

Proses kriminalisasi terhadap Nafian Faiz dan pengurus P3UW lainnya adalah upaya pembungkaman terhadap P3UW yang selama ini memperjuangkan hak-hak petambak. Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Nafian Faiz dan tiga pengurus P3UW yakni Anul Muklis, Sigit Winardi, dan Abdurrahman hingga saat ini masih ditahan di Kepolisian Daerah Lampung. Pada hari Rabu (29/9/2010), sekitar pukul 04.30 WIB di Pelabuhan Bakauheni, Lampung, Pak Nafian bersama seorang pengacara dan aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), dicegat oleh aparat polisi berpakaian preman di atas kapal. Tanpa surat penangkapan, Pak Nafian diminta mendatangi Kantor Polisi Pengamanan Pelabuhan (KP3) Bakauheni. Penangkapan dikaitkan dengan aksi pengrusakan aset-aset AWS/ CP Prima di Rawajitu Timur, Kabupaten Tulang Bawang. (Keterangan: ketika aksi massa terjadi (2/92010), Pak Nafian tidak berada di lokasi kejadian. Pada tanggal 2 September 2010, Pkl 11.00 WIB, ia sedang i’tikaf di masjid dekat rumahnya.


Bersama Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW), kami mendesak Pemerintah Indonesia serta seluruh elemen untuk mengambil tindakan tegas, luar biasa, dan berani, sebagai berikut:

i. Pemerintah segera menuntut dan memastikan bahwa CP Prima melaksanakan revitalisasi, dan menegosiasikan skema pembayaran utang dari tender pada tahun 2007. Jika CP Prima tidak menyanggupi, maka Pemerintah harus memastikan pertanggungjawaban CP Prima dengan mempailitkan dan secepatnya melelang aset-asetnya untuk pelunasan hutang.

ii. Apabila kewajiban revitalisasi tidak dipenuhi, Pemerintah harus memastikan pemutusan Perjanjian Kerjasama (PKS 2007) untuk menjadikan petambak mandiri, seperti yang pernah dirasakan saat periode pemerintahan Gus Dur.

iii. Pemerintah memastikan bahwa hutang yang ditanggung oleh petambak di BNI, BRI, Bank Niaga Syariah merupakan tanggung jawab bersama yang harus dibayar oleh CP Prima dan pemerintah, karena kedua pihak bertanggung jawab atas tidak terlaksananya kewajiban CP Prima menjalankan revitalisasi, serta ketidakmampuan pemerintah menagih CP Prima menjalankan kewajibannya.

iv. Segera memastikan proses peradilan yang adil, transparan dan tidak memihak atas Nafian Faiz dan petambak lainnya yang telah dikriminalisasi. Jika memang tidak terdapat fakta/ bukti yang cukup dan sah secara hukum atas kesalahan yang dituduhkan, mereka harus segera dibebaskan.

v. Khusus kepada DPR RI, agar secepatnya melaksanakan fungsi kontrol atas kemelut penegakan hukum yang dihadapi petambak, hingga mendorong Kepolisian dan Kejaksaan untuk mengusut tuntas pelbagai pelanggaran HAM yang terjadi, tak terkecuali dugaan penyalahgunaan dana revitalisasi.

vi. Khusus kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP – RI) harus proaktif memberi informasi secara transparan, terkait jaminan perlindungan terhadap petambak dan standar harga udang nasional.

Beri dukungan anda untuk menghentikan lingkaran eksploitatif industri udang CP Prima, yang telah meluluh-lantakkan kehidupan keluarga petambak, termasuk istri dan anak-anak. Harap mencantumkan nama, lembaga, negara asal lembaga, dan sertakan ke halaman petisi. Kirim kembali kepada Tim Advokasi Petambak Plasma Dipasena, melalui email: kiara@kiara.or.id.

Respon dan dukungan anda dinantikan hingga 23 November 2010. Salin dan sebarkan informasi petisi seluas mungkin.

Terimakasih sangat atas perhatian dan kerjasamanya.

Jakarta, 16 November 2010

Hormat kami,

1) Abdul Syukur, Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW), Indonesia
2) Syukri J. Bintoro, Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW), Indonesia
3) M. Riza Damanik, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Indonesia
4) M. Teguh Surya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesia
5) Oslan Purba, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia
6) Mukri Friatna, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesia
7) Thowilun, Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW), Indonesia
8) Mida Saragih, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Indonesia
9) Mae Ocampo, Friends of the Earth Asia Pacific
10) Dedy Ramanta, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Indonesia
11) Selamet Daroyni, Institut Hijau Indonesia, Indonesia
12) Eri Andriana, Perkumpulan Rumah Perempuan Jember Jawa Timur, Indonesia
13) Muhammad Reza, KruHA, Indonesia
14) Budi Laksana, Serikat Nelayan Indonesia, Indonesia
15) Tejo Wahyu Jatmiko, Perkumpulan Indonesia Berseru Jakarta, Indonesia
16) Ilham Jaya, Pokja Pesisir-Nelayan Balikpapan, Indonesia
17) Sutrisno, Sarekat Nelayan Sumatera Utara, Indonesia
18) Iin Rohimin, Koalisi Masyarakat Pesisir Indramayu (KOMPI) Jawa Barat, Indonesia
19) Tajruddin Hasibuan, Presidium KNTI region Sumater Utara, Indonesia
20) L.Tampubolon, Federasi Sarekat Nelayan Nusantara, Indonesia
21) Anwar Maruf,Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Indonesia
22) Rendro Prayogo , Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), Indonesia
23) Hartono, Komunitas Nelayan Rajungan Kalibaru (KNRK) Cilincing, Indonesia
24) Suhana, Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM), Indonesia
25) Muhammad Karim, Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM), Indonesia
26) Siti Maimunah, Tim Kerja Perempuan dan Tambang (TKPT), Indonesia
27) Rustan, Sarekat Nelayan Kecil (SNK), Indonesia
28) Idham Arsyad, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Indonesia
29) Arman Manila, Jaringan Pengembangan Kapasitas Pesisir, Indonesia
30) Bambang Catur, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesia
31) Moh. Djauhari, Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) Bogor, Indonesia
32) Ririn Sefsani, Democratic Governance and Social Justice, Indonesia
33) Abdi Hayat, Perkumpulan Sekolah Rakyat Butuni (Serabut), Indonesia
34) Miftahuddin, Sentral Lampung, Indonesia
35) Andreas Iswinarto, PP Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Indonesia
36) Berry Nahdian Furqon, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesia
37) Hariansyah Usman, Walhi Riau, Indonesia
38) Koesnadi Wirasapoetra, Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Indonesia
39) Sugeng Nugroho, Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Indonesia
40) Dani Setiawan, Koalisi Anti Utang (KAU), Indonesia
41) Khalid Saifullah, Walhi Sumatera Barat, Indonesia
42) Arif Munandar, Walhi Jambi, Indonesia
43) Yani Sagarao, Walhi, Indonesia
44) Siti Rahma Maryherwati, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Indonesia
45) Karman, Layar Nusantara, Indonesia
46) Hartono, Walhi Sulawesi Tenggara, Indonesia
47) Perkumpulan KELOLA Manado, Indonesia
48) Asosiasi Nelayan Tradisional (ANTRA) Sulawesi Utara, Indonesia
49) Andiko, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Indonesia
50) Maurizio Farhan, Forest Peoples Programme (FPP), United Kingdom
51) Norman Jiwan, Sawit Watch, Indonesia
52) Syahrul Isman Sagala, Walhi Sumatera Utara, Indonesia
53) Kertaning Tyas, Jurnalism Citizen Sumatera Selatan, Indonesia
54) Ode Rakhman, Walhi Sulawesi Utara, Indonesia
55) Deddy Ratih, Walhi, Indonesia
56) Sindu Dwi Hartanto, Milister Illegal Fishing, Indonesia
57) Chalid Muhammad, Institut Hijau Indonesia,Indonesia
58) Aftrinal Sya’af Lubis, SHK-Rawa Gambut, Indonesia
59) Jufriansyah - Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan Lingkungan (STABIL), Balikpapan, Indonesia
60) Rizki Anggriana Arimbi, Walhi Sulut, Indonesia
61) Rivani Noor, Cappa Jambi, Indonesia
62) Paguyuban Nelayan Lestari, Jawa Tengah - Indonesia
63) Kelompok Nelayan Cantrang, Jawa Tengah - Indonesia
64) Kelompok Nelayan Ampera, Jawa Tengah – Indonesia
65) M. Zulficar Mochtar, Destructive Fishing Watch (DFW), Indonesia
66) Agung Wardana, Individu, Nottingham, UK
67) Dyah Paramita, ICEL, Indonesia
68) Ismet Soelaiman, Walhi Malut, Indonesia
69) Mangrove Action Project (MAP), USA
70) Yayasan Bahtera Nusantara-Bali, Indonesia
71) TM Zulfikar, Walhi Aceh, Indonesia
72) Khalisah Khalid, Biro Politik dan Ekonomi SHI, Indonesia
73) Arif Fiyanto, Greenpeace Asia Tenggara
74) Isal Wardhana, Walhi Kaltim, Indonesia
75) Guswarman, Perkumpulan Kampung Lampung, Indonesia
76) Ronald M Siahaan, Rattan Monitoring Unit – KpSHK, Indonesia
77) Tambuyog Development Center (TDC), Philippines
78) Dewi W. Hartanti, Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK), Indonesia
79) Herjuno Ndaru, Institute of Global Justice (IGJ), Indonesia
80) Nina Dwisasanti, concerned individual, Jakarta, Indonesia
81) Luluk Uliyah, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Indonesia
82) Anwar Sadat, Walhi Sumsel, Indonesia
83) Mauliddin, Orpala KADIPA Kalimantan Selatan, Indonesia
84) Natasha Ahmad, Asia Solidarity Against Industrial Aquaculture (ASIA), Bangladesh
85) Khushi Kabir, Nijera Kori, Bangladesh
86) Arifsyah M. Nasution, Koalisi untuk Advokasi Laut Aceh (Jaringan KuALA), Aceh, Indonesia
87) Basir Daud, Alumni Jurusan Ilmu Kelautan Unhas, Indonesia
88) Leonardo Marbun, P3MN Sumut, Indonesia
89) Rizalito R. Lopez, Center for Advancement of Community Property Rights, Inc., Philippines
90) Edy Subahani, Kelompok Kerja Sistem Hutan Kerakyatan [Pokker SHK], Indonesia
91) Gunawan, Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Indonesia
92) Abetnego Tarigan, Sawit Watch, Indonesia
93) Patilda, Sawit Watch, Indonesia
94) Kasmita Widodo, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Indonesia
95) Ari Munir, Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Indonesia
96) Indra Firsda, LBH Lampung, Indonesia
97) Hendrawan, Walhi Lampung, Indonesia
98) Hermansyah, PILAR, Indonesia
99) Catur, WANACALA, Indonesia
100) Bejok Dewangga, WANACALA, Indonesia
101) Muh Nur, Pengacara Publik, Indonesia
102) Pisit Charnsnoh, Yadfon Foundation, Thailand
103) Raflis, Transparency International Indonesia (TII), Indonesia
104) Indah Suksmaningsih, Institute of Global Justice (IGJ), Indonesia
105) Jorge Varela Márquez, CODDEFFAGOLF, Honduras

Sumber http://kiara.or.id
Baca Selengkapnya..

Ribuan petambak menduduki aset-aset perusahaan CP Prima

Pemerintah membentuk tim untuk menyelesaikan sengketa antara petambak plasma bekas Dipasena Citra Darmaga dan CP Prima, yang memanas sejak beberapa hari lalu.
Ribuan petambak PT Aruna Wijaya Sakti, anak perusahaan CP Prima, menuntut revitalisasi tambak seluas 16 ribu hektare yang terbengkalai. Tuntutan ini berujung pada aksi pendudukan aset perusahaan.

"Pekan ini tim sudah bekerja dan turun ke lokasi,"kata Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad melalui pesan pendek kepada Tempo di Bandar Lampung kemarin.Tim bakal mengecek program revitalisasi yang menjadi bagian dari pengambilalihan aset milik pengusaha Sjamsul Nursalim dari PT Perusahaan Pengelola Aset lima tahun lalu.

Fadel menyayangkan sikap ter tutup CP Prima dalam menyelesaikan sengketa antara petambak plasma dan perusahaan inti. Padahal tambak udang bekas Dipasena merupakan aset penting untuk menggenjot produksi udang nasional. Akibat gejolak ini, produksi udang nasional berkurang. "Saya menyayangkan sikap CP Prima yang tidak kooperatif," katanya. Keputusan tentang sengketa diharapkan rampung dalam sepekan ini.
Langkah pemerintah disambut positif para petambak. Mereka menyatakan siap membuka seluruh akses menuju lokasi tambak agar tim mendapat data yang sebenarnya di lapangan. "Itu yang kami tunggu-tunggu," kata Thowilun, Wakil Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu Dipasena (P3UW). Para petambak sepakat memberi tenggat: 15 Januari ini revitalisasi harus berjalan. Tapi petambak ragu atas kemampuan CP Prima mengelola tambak modern melalui PT Aruna Wijaya Sakti. Mereka juga mempertanyakan dana revitalisasi dari pemerintah dalam bentuk dana standby di bank. "Dengan dana Rp 1 triliun perbaikan seharusnya selesai,"katanya. Faktanya, baru 5 dari 16 blok yang direvitalisasi, tapi diklaim CP Prima sudah 95 persen yang direvitalisasi.

Akibat revitalisasi yang lambat, petambak terjerat utang hingga Rp 200 juta. Sebab, perusahaan memaksa petambak menandatangani akad kredit modal kerja dan investasi di sejumlah bank. Padahal sebagian besar penerima kredit belum bisa berproduksi karena tambak masih kering."Kami belum tahu uang yang kami pinjam dari bank untuk apa," kata Sukri Bintoro, Sekretaris P3UW.

Menanggapi tudingan bersikap tertutup, Corporate Communica tion Manajer CP Prima George Basoeki mengatakan, pihaknya siap mengadakan pembicaraan bersama perwakilan petambak dengan mediasi pemerintah.“Kami siap,” kata Basoeki sembari membantah tudingan bahwa pihaknya bersikap tertutup. Dia menilai para petambak memboikot dan keluar dari perundingan. “Itu yang kami sayangkan,” katanya.
Basoeki mengklaim revitalisasi mencapai 95 persen dan sudah beres. Unjuk rasa petambak, kata dia, bukan karena revitalisasi, melainkan menuntut pembebasan Ketua P3UW Nafian Faiz, yang ditahan aparat kepolisian. Tapi Nafian, yang dihubungi Tempo di Rumah Tahanan Menggala, Tulangbawang, mengatakan unjuk rasa petambak tak ada urusan dengan penahanan dirinya. “Masalah utama, ya, lambatnya revitalisasi,”katanya.
Petambak Makin Terjepit Tambak Dipasena adalah aset yang diberikan pemiliknya, Sjamsul Nursalim, sebagai penutup utang Rp 28,4 triliun kepada pemerintah pada 1998. Saat itu aset Dipasena dinilai Rp 20 triliun. Tapi nilai aset melorot tak lebih dari Rp 5,2 triliun karena utang petambak yang dijamin perusahaan macet.
Setelah dimiliki pemerintah lewat Perusahaan Pengelola Aset, Dipasena dilego ke konsorsium Neptune dan CP Prima. Konsorsium ini memenangi tender aset yang ditaksir Rp 21 triliun, tapi dibeli hanya dengan Rp 2,3 triliun. Harga itu pun cuma dibayar Rp 688 miliar dan sisanya masuk rekening penampungan untuk program revitalisasi tambak.

Selain revitalisasi, CP Prima wajib memperbaiki sarana perusahaan, saluran air dan menjamin petambak kembali produksi. Semua pekerjaan itu harus selesai dalam 18 bulan sejak penandatanganan kontrak pada 2007. Tapi revitalisasi tak kunjung beres. Sekitar 7.900 petambak terjerat utang ratusan juta rupiah.
Petambak setidaknya menanggung utang Rp 20 juta dari peninggalan Sjamsul, Rp 125 juta utang modal ke Bank BNI, dan utang yang bertambah setiap bulan ke perusahaan inti Rp 900 ribu per bulan sejak revitalisasi pada akhir 2007. "Kalau revitalisasi tidak selesai, utang ini terus menggunung," kata Thowilun, Wakil Ketua P3UW.
NUROCHMAN ARRAZIE

http://epaper.korantempo.com
Baca Selengkapnya..