Kamis, 27 Mei 2010

Bayar Pajak Miliaran Rupiah, Jalan Rusak Tak Digubris

Petambak rakyat di Kabupaten Tulangbawang, Lampung, heran bukan kepalang. Sebanyak 3.119 petambak selama bertahun-tahun rajin membayar pajak cukup besar namun jalan sepanjang 15 kilometer ke daerah mereka dibiarkan rusak parah sehingga mobilitas warga dan angkutan barang terhambat.

Pada tahun 2005 petambak yang menjadi plasma dari PT Central Pertiwi Bahari (CPB) membayar pajak penghasilan sebanyak Rp 47 miliar dari total pajak dan retribusi sebesar Rp 142 miliar yang dibayarkan CPB kepada pemerintah. Jumlah yang besar ini tidak diikuti pembangunan yang diharapkan. Padahal mereka melunasi utang dan menyetor pajak dari hasil kerja keras dan keringat sendiri bukan meminta fasilitas dari sana-sini.

Sejumlah petambak menyampaikan keluhan ketika berdialog dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi serta Menteri Perdagangan Mari E Pangestu, di Tulangbawang, Jumat (23/6), seusai penyerahan sertifikat tanda lunas kepada para petambak.

"Sejak dulu sampai sekarang, tidak ada satu pun dari kami yang mendapat jaminan hidup dari pemerintah. Kami menyulap lahan tidak produktif menjadi produktif, dan banyak hambatan harus dihadapi. Kami jujur dan rajin membayar pajak, tapi kenapa jalan yang rusak parah tidak diperbaiki," tutur Sabar Riyadi, seorang petambak.
Petambak lainnya, Anwar dan Ispitanyo, mendesak pemerintah memperpanjang larangan impor udang yang akan memukul produk dalam negeri. Mereka juga minta kepastian hukum dari lahan yang menjadi tempat usaha. Selain itu, pemerintah diminta menata green belt atau "sabuk hijau" kawasan tambak agar terlindung dari kerusakan dan pencemaran.

Petambak sangat khawatir karena Pemerintah Kabupaten Tulangbawang memberikan sebagian peruntukan lahan tambak ke perusahaan lain untuk perkebunan tebu. Padahal, pupuk yang digunakan perkebunan itu berpotensi mengancam tambak udang. Jika udang tercemar kimia tertentu akan ditolak atau diembargo importir. Ancaman ini sudah dikeluarkan Uni Eropa.
Freddy dan Mari berjanji akan melaporkan masalah yang dikemukakan para petambak kepada menteri terkait di Sidang Kabinet. Soal jalan rusak, misalnya, akan dilaporkan ke Menteri Pekerjaan Umum. Larangan impor udang yang berakhir 28 Juni ini akan diperpanjang sampai enam bulan ke depan. Sedangkan soal sabuk hijau akan dibicarakan dengan pemda setempat.

Tahun ini, 1.780 petambak plasma CPB juga berhasil melunasi utang kepada bank senilai Rp 450 miliar. Para petambak mengambil kredit rata-rata Rp 150 juta per plasma sejak tahun 1996. Penghasilan mereka pun cukup besar, bisa mencapai Rp 100 juta hingga Rp 120 juta per tahun, dengan panen rata-rata setiap enam bulan.
Keajaiban

Vice President PT CPB Johannes Kitono mengatakan, pihaknya telah menciptakan banyak lapangan kerja. Selain ribuan petambak rakyat yang menjadi plasma, ada sekitar 12.000 warga yang menjadi karyawan CPB dan 600 UKM sebagai pemasok berbagai material. Belum lagi puluhan ribu anggota keluarga petambak dan karyawan yang bisa hidup sejahtera.

"Dulu lahan di sini terlantar. Warga yang pernah menjadi perambah hutan bisa mengolah ribuan hektare tambak udang dengan kerja keras, bahkan sanggup membayar kredit dan pajak penghasilan dalam jumlah besar. Ini suatu keajaiban. Mereka seharusnya mendapat bintang jasa," ujar Johannes.

Apalagi, menurut Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto, menjadi petambak bukan pekerjaan mudah. Banyak tantangannya, mulai dari harga solar yang tinggi, pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk primer, peraturan daerah yang memberatkan, serangan penyakit pada udang, serta standarisasi budi daya udang hingga persyaratan internasional yang cukup berat.

Isu-isu internasional yang terkait dengan pengembangan budi daya perikanan, antara lain isu lingkungan, pembangunan berkelanjutan, perdagangan bebas, perlindungan dan jaminan mutu makanan, ekolabeling, antidumping, rule of origin dan hak asasi manusia.

Tidak ada komentar: