Minggu, 30 Mei 2010

CP Prima belum pertimbangkan investor baru

PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima) belum memikirkan adanya potensi masuknya investor baru ke dalam emiten eksportir tambak udang itu. "Selama ini pernyataan adanya investor baru perusahaan bukan dari kami dan datangnya dari DKP [Departemen Kelautan dan Perikanan], kalau dari kami belum memikirkan investor baru, saat ini kami masih fokus kepada revitalisasi tambak karena virus," ujar VP Director CP Prima Mahar Sembiring kepada pers dalam paparan publik hari ini.

Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad belum lama ini menyatakan telah siap dua investor baru asal Malaysia dan dari dalam negeri yang sudah memiliki fresh money yang akan digunakan untuk mengakuisisi tambak eks Dipasena itu.Mahar menjelaskan saat ini perusahaan sedang fokus merevitalisasi tambak yang terserang virus IMNV, khususnya di tambak PT Central Pertiwi Bahari (CPB). Mahar juga memprediksi angka produksi udang dari perseroan sepanjang triwulan I/2010 tidak akan sebesar periode yang sama tahun lalu karena adanya serangan virus itu. "Secara logika, tahun lalu kan belum ada masalah virus, jadi bisa saja disimpulkan, tetapi kami belum dapat memberikan angka apa-apa, nanti saja ketika RUPS." Dalam acara itu, perseroan membawa serta perwakilan petambak plasma dari masing-masing tiga anak usaha perseroan, yaitu CPB, PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), dan PT Wachyuni Mandira (WM) yang mengklaim sebagai perwakilan petambak

Mahar menegaskan perseroan mendukung upaya petambak plasma yang meminta kepada pemerintah dan DKP untuk meringankan biaya yang harus ditanggung, misalnya penurunan tarif listrik, pembuatan jalan yang layak, dan penurunan harga bahan baku pakan. "Usulan itu tidak akan membantu kami sebagai perusahaan, tetapi murni untuk petambak plasma, dan kami mendukung itu semua." Dia juga menuturkan perseroan tidak bermasalah dengan penebaran benih di tambak awal tahun ini, meskipun agak tersendat karena faktor cuaca.(wiw) Sumber : http://web.bisnis.com
Baca Selengkapnya..

CP Prima Bantah Revitalisasi Tambak Udang Gagal

PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima) membantah adanya kegagalan revitalisasi tambak udang miliknya yang terkena virus. Revitalisasi tetap berjalan walaupun mengalami hambatan dalam pelaksanaannya. Demikian yang disampaikan Wakil Direktur Utama CP Prima Mahar A Sembiring dalam konferensi pers yang diadakan CP Prima di Jakarta, Rabu (5/5). "Wabah penyakit belum dapat dihilangkan tetapi revitalisasi tambak masih berlanjut," kata Mahar. Ia mengapresiasi partisipasi para petani tambak dalam kegiatan revitalisasi yang dilakukan perusahaan inti. Bahkan menurutnya perusahaan inti dan para petani sudah menyepakati target revitalisasi tambak akibat virus tersebut.

Mahar menjelaskan revitalisasi tambak, khususnya penyebaran benur (bibit udang), memang mengalami keterlambatan yang disebabkan adanya gangguan cuaca. "Musim hujan masih tinggi. Biasanya April sudah baik tapi sekarang masih tinggi," cetusnya. Namun begitu penyebaran benur tetap dilakukan para petani tambak walaupun berkurang volume benur yang ditebarkan. Mahar mengharapkan pada bulan Mei, penyebaran benur bisa kembali dilakukan normal. Selain itu, CP Prima juga telah mengusahakan beberapa perbaikan dalam merevitalisasi tambak. Sejumlah usaha seperti penggunaan metode baru budi daya dan penanganan bio (bio treatment) sudah dilakukan.

Sebelumnya, tambak udang yang dimiliki CP Prima terserang virus jenis Infectious Myo Necrosis Virus (IMNV). Menurut staf ahli penyakit dan lingkungan CP Prima, Bambang Widigdo, virus tersebut tergolong baru karena baru ditemukan di Brasil pada tahun 2004. Virus tersebut masuk ke Indonesia akibat impor benur dari Taiwan. "Ternyata Taiwan mengimpornya juga dari Brasil," katanya. Virus tersebut menyebar ke tambak-tambak lain karena benur terbawa oleh burung dan jatuh di tambak lainnya. "Kita sudah melakukan pencegahan tetapi kita mencegah burung menjatuhkannya sulit," ujar Bambang.  Sampai saat ini, pihak CP Prima belum bisa menentukan target produksi akibat keterlambatan revitalisasi tambak. "Kita belum bisa membuka volume produksi, memelihara udang kan memakan waktu berbulan-bulan," ujar Mahar.

Dalam menghadapi persoalan revitalisasi tambak, CP Prima juga terus meminta bantuan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Kita meminta uluran tangan di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kita terus berkonsultasi dan mencari solusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan," tutur Mahar. Terkait soal adanya investor baru yang akan menyuntikan dana bagi CP Prima, Komisaris Utama CP Prima Hardian P Widjonarko mengaku tidak pernah terjadi pembicaraan apapun mengenai investor. " Investor saya tidak tahu, tidak kenal, dan tidak berhubungan. Jadi saya tidak bisa komentar," ungkapnya.

Hardian mengungkapkan bahwa CP Prima tidak mengalami masalah pendanaan. Maka CP Prima dianggap tidak perlu investor baru untuk menyuntikan dana. "Alhamdulilah, tidak ada masalah pendanaan," katanya. Sumber dana kredit dari bank-bank yang menjadi mitra CP Prima juga tetap berjalan lancar. Namun Mahar mengakui bahwa kredit baru masih sedang mengalami peninjauan ulang. Untuk pembayaran utang yang akan jatuh tempo, Mahar menuturkan bahwa pihaknya masih berada dalam posisi standstill agreement dengan pemegang obligasi. Ia masih terus membicarakan restrukrisasi utang tersebut dengan para obligor. "Standstill agreement sampai dengan tercapainya kesepakatan dengan bondholder belum ada informasi yang bisa disampaikan," pungkasnya. (*/OL-03) Sumber : http://www.mediaindonesia.com
Baca Selengkapnya..

Kamis, 27 Mei 2010

Tambak Inti Rakyat Udang di Lampung Antara Agrobisnis, Kemitraan dan Devisa

(Refleksi jadul)

KUNJUNGAN kerja Presiden Soeharto ke tambak inti rakyat (TIR) terpadu PT Central Pertiwi Bratasena (CPB), Lampung Utara, akhir September 1996, menggairahkan para petambak yang sebelumnya perambah hutan. Kehadiran Bapak Pembangunan untuk menyaksikan panen udang di tambak petani sangat berarti bagi subsektor budidaya laut di sana. "Apakah kalian mau kembali ke hutan?"

tanya Presiden Soeharto kepada para petambak. Semua menjawab dengan lantang, "Tidak, Pak.

Demikian salah satu cuplikan dialog Presiden dengan para petambak udang. Jawaban para petambak mengukuhkan kembali tekad mereka untuk memperbaiki dan meningkatkan ekonominya melalui tambak udang. Berdasar pengalaman panen pertama, yang disaksikan langsung Presiden Soeharto, para petambak tidak ingin menjadi perambah hutan lagi, karena "profesi" petambak lebih menjamin hidupnya. Dalam dialog dengan Presiden Soeharto, diketahui di antara mereka ternyata ada yang telah menjadi "petambak jutawan" (Kompas, 27/9). Presiden Soeharto menyatakan rasa senang dan gembiranya setelah mengetahui, bahwa para petambak saat ini hidupnya sudah semakin baik. Ketika mereka masih sebagai perambah hutan, penghasilan mereka setiap hari sangat minim, bahkan penghasilan sebulan tidak mencapai Rp 100.000. Hingga September 1996, CP Bratasena sudah menghimpun 1.900 kepala keluarga (KK) mantan perambah hutan sebagai plasma, dengan jumlah tambak yang sudah dibuka 1.900 unit. Rencana keseluruhan, inti akan membuka 23.900 ha, di antaranya untuk kepentingan plasma 16.000 ha. Untuk tahun 2001, inti menargetkan akan membuka 15.000 ha tambak lagi, untuk 15.000 KK yang semuanya perambah hutan.
***
SELAMA ini usaha tambak udang di beberapa daerah di Indonesia, masih terbilang lesuh dan belum bergairah. Kunjungan Presiden Soeharto ke TIR Terpadu Bratasena oleh beberapa pejabat dan investor di Lampung, dilihat sanggup memotivasi dan menggairahkan kembali usaha budidaya udang yang masih lesu di beberapa daerah itu. Gairah petambak udang Bratasena merupakan bagian dari isyarat dinamika pembangunan, khususnya kegiatan subsektor perikanan nasional, terutama lagi budidaya udang. Indonesia memiliki potensi budidaya laut yang amat besar, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan hutan pantai yang dapat dikonversikan untuk pertambakan, yakni seluas 850.000 km2.

Majalah World Shrimp Farming, yang mengkhususkan diri dalam pengkajian masalah udang, dalam laporan produksi Desember 1995 menyebutkan, Indonesia sebagai negara kepulauan yang penuh misteri. Munculnya persepsi ini berdasarkan kenyataan, bahwa sekalipun memiliki potensi besar, Indonesia ternyata masih belum mampu menjadi yang terbesar di dunia. Lihat misalnya, dari 712.000 metrik ton (MT) produksi udang dunia 1995, Indonesia hanya mampu menyumbang 80.000 MT (11,23 persen). Bila dibanding Thailand, yang memiliki garis pantai hanya 2.600 km, malah lebih dikenal sebagai raja udang, karena mampu menyumbang 220.000 MT atau 30,89 persen produksi udang dunia.

Johannes Kitono, salah satu pemerhati udang nasional, dalam percakapan dengan Kompas mengatakan, Indonesia tidak perlu pesimis menghadapi kondisi dan realitas tersebut. Bila dikelola secara bijak, dengan wawasan dan prinsip keseimbangan lingkungan, Indonesia bisa memimpin pasar (market leader) udang dunia. Apa artinya mengelola potensi perikanan, khusus budidaya udang dalam kerangka keseimbangan lingkungan? Kata Kitono, udang dari budidaya yang lestari dan berwawasan lingkungan memiliki daya saing tinggi di pasar dunia. Pasokan udang tangkapan semakin menurun, sedangkan permintaan pasar dunia akan udang naik 3-5 persen/tahun.

"Pasokan udang tangkapan makin berkurang karena terkurasnya sumber hayati laut menyusul penangkapan berlebihan dan mengabaikan prinsip kelestarian lingkungan," katanya. Embargo AS pada tanggal 1 Mei 1996, yang ditujukan pada udang penangkapan dari 36 negara, merupakan sinyal penting bagi Indonesia. Sebab dari total produksi udang head-on nasional yang 280.000 MT pada tahun 1995, 180.000 MT (64,28 persen) dari udang tangkapan - Produksi udang dunia berkisar 2.628.000 MT yang terdiri dari udang budidaya 733.000 MT (28 persen) dan udang penangkapan 1.895.000 (72 persen). "Untuk sementara, embargo AS memang masih menguntungkan kita, namun harus tetap diwaspadai. Karena LSM yang memperkarakan AS dan menang, malah masih bermaksud memboikot udang budidaya. Alasan LSM tadi, tambak udang merupakan hasil konversi hutan bakau, dan itu dianggap identik dengan tindakan merusak lingkungan," kata Kitono.

Di Lampung saja misalnya, menurut laporan Pusat Studi Lingkungan (PSL) Universitas Lampung (Unila), hutan bakau yang tersisa di pantai timur Lampung hanya 930 hektar atau enam persen, dari total 17.000 ha (dengan panjang 210 km lebih). Kerusakan terjadi karena pembukaan tambak tradisional dilakukan secara tidak terkendali hingga membahayakan ekosistem pantainya. Hingga kini terdapat kurang lebih 31.106 kepala keluarga (KK) perambah hutan di Lampung. Pemda melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hanya mampu memukimkan 1.000 KK/tahun. Itu berarti perlu waktu 34 tahun lagi untuk memukimkan para perambah di luar kawasan hutan. Proyeksi ini tentu saja belum memperhatikan tingkat pertumbuhan penduduk Lam-pung, yang kini 2,67 persen/ tahun.

Sementara itu, untuk meraih pertumbuhan ekonomi 7,5 persen saja, Lampung membutuhan investasi sekitar Rp 1,4 trilyun, dan 70 persen di antaranya diharapkan dari swasta. Bisa dibayangkan lagi, dana dibutuhkan pasti akan semakin besar, bila daerah ini mau memacu pertumbuhan eknomi hingga 10,5 persen. Sarat dengan berbagai masalah tersebut, Pemda Lampung selalu berusaha mengundang calon investor yang bersedia menanamkan modalnya dibidang agrobisnis, yakni mengelola potensi sumber daya alam yang ada, yang diharapkan dapat bersaing di pasar dunia. Calon investor itu juga harus mampu menerapkan pola kemitraan secara imbang atau saling menguntungkan.

Menurut Kepala Dinas Perikanan Lampung, Ir Helmi Muchtar, agrobisnis di bidang budidaya udang di daerahnya menjanjikan pertumbuhan yang sangat prospektif. Lampung kini memiliki dua investor "raksasa" yang menerapkan konsep Tambak Inti Rakyat (TIR) terpadu, yang padat karya dan sarat kemitraan.


Dua investor tersebut, adalah Bratasena dan PT Dipasena Citra Darmaja. Namun Bratasena, yang kini sudah mencetak 1.900 ha lahan tambaknya (dari total 23.900 ha) baru melakukan panen pertamanya tahun ini. Sedang Dipasena yang rencananya mencetak 16.000 ha lahan tambak, pada tahun 1995 sudah berhasil mengekspor 19.194 MT udang dengan nilai 137 juta dollar AS. Bratasena mempunyai komitmen tambahan dengan Pemda Lampung, yakni merehabilitasi jalur hijau hutan bakau seluas 2.819 ha di sekitar proyeknya. Sabuk hijau berfungsi sebagai buffer zone terhadap gelombang yang menimbulkan abrasi pantai. Jalur hijau bakau juga dapat meningkatkan kualitas atau daya saing udang ekspor, sekaligus mengantisipasi penerapan ecolabeling oleh negara konsumen.

Selain itu komitmen tersebut, Pemda Lampung juga mengajak Bratasena untuk menampung mantan perambah hutan sebagai plasma mitra kerjanya. Kini
tercatat 1.900 KK perambah hutan, berhasil ditampung dari target tahun 2001 yakni 15.000 KK. Di sanalah keunikan proyek TIR Bratasena yang dikunjungi Presiden Soeharto, akhir September lalu. Semua petani plasma yang bermitra adalah mantan perambah hutan. Sedang teknologi budidaya yang digunakan adalah resirkulasi yang lestari dan akrab dengan lingkungan hasil rekomendasi WAS (World Aquaculture Society).

***
DUNIA pertanian Lampung, khusus subsektor perikanan masih yakin, bahwa budidaya udang memiliki masa depan yang prospektif. Kekurangan pasokan udang dunia di satu pihak, dan ancaman embargo udang tangkapan serta naiknya permintaan udang di pasar dunia sekitar 3-5 persen/tahun di pihak lain, tentu menjadi peluang bisnis tersendiri. "Peluang bisnis itu, ialah meningkatkan budidaya udang, yang menurut FAO, akan semakin menonjol peranannya setelah tahun 2000. Lampung berpeluang untuk itu," kata Johannes Kitono.

Dewasa ini saja, dari 10 jenis makanan laut favorit dunia, udang berada di posisi kedua setelah tuna. Udang juga tetap menjadi komoditas primadona ekspor subsektor perikanan. Bahkan dalam daftar 10 jenis produk utama Indonesia yang bernilai ekspor, udang berada di urutan kesembilan dengan nilai 1.137 juta dollar AS (data 1995). Tahun 1995 komoditas udang menyumbangkan 60 persen devisa ekspor perikanan nasional, dengan nilai yang diraih 1.137 juta lebih dollar AS. Lampung, yang pada tahun 1990 hanya mengekspor 300.000 kg atau 0,3 persen dari total ekspor udang nasional, pada tahun 1995 naik menjadi 10.194.000 kg (9,3 persen) dengan nilai 137 juta dollar AS (12 persen).

Dari berbagai sumber yang diperoleh Kompas menunjukkan, selama semester pertama tahun 1996, total ekspor udang tambak (budidaya) nasional mencapai 27.977 MT atau naik 2.037 MT (delapan persen) dibanding periode sama tahun 1995. Ekspor sebanyak itu dipantau melalui lima kota pelabuhan, yakni Jakarta, Surabaya, Bandarlampung, Medan, dan Ujungpandang. Menurut pengamatan Johannes Kitono, sulit membayangkan wajah sektor budidaya udang kalau tidak ditopang ekspor udang dari Lampung. "Ketika daerah lain pengekspor udang dengan susah payah mempertahankan kinerjanya, karena penyakit dan polusi, Lampung bahkan semakin meningkatkan kinerjanya, seperti terlihat tahun ini bila dibanding tahun sebelumnya,"katanya.

Ekspor udang Lampung semester pertama tahun ini, mencapai 4.947 MT atau melonjak 267 persen dari ekspor periode sama tahun 1995, yang hanya 1.347 MT. Kata Kitono, jika pola budidaya dan ekspornya tetap sama seperti tahun lalu, maka total ekspor 1995 (10.194 MT dengan nilai 137 juta dollar AS), akan dengan mudah dilewati. Proyek TIR Udang penghasil devisa itu, menurut Kitono harus diproteksi oleh pemda dari segala hal yang mengancam eksistensinya. Kiat yang dipakai Pemda Lampung menjalin kerja sama menguntungkan dengan perusahaan inti bisa menjadi model pembangunan untuk daerah lain di Indonesia dalam permasalahan yang sama maupun berbeda.
Baca Selengkapnya..

Bayar Pajak Miliaran Rupiah, Jalan Rusak Tak Digubris

Petambak rakyat di Kabupaten Tulangbawang, Lampung, heran bukan kepalang. Sebanyak 3.119 petambak selama bertahun-tahun rajin membayar pajak cukup besar namun jalan sepanjang 15 kilometer ke daerah mereka dibiarkan rusak parah sehingga mobilitas warga dan angkutan barang terhambat.

Pada tahun 2005 petambak yang menjadi plasma dari PT Central Pertiwi Bahari (CPB) membayar pajak penghasilan sebanyak Rp 47 miliar dari total pajak dan retribusi sebesar Rp 142 miliar yang dibayarkan CPB kepada pemerintah. Jumlah yang besar ini tidak diikuti pembangunan yang diharapkan. Padahal mereka melunasi utang dan menyetor pajak dari hasil kerja keras dan keringat sendiri bukan meminta fasilitas dari sana-sini.

Sejumlah petambak menyampaikan keluhan ketika berdialog dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi serta Menteri Perdagangan Mari E Pangestu, di Tulangbawang, Jumat (23/6), seusai penyerahan sertifikat tanda lunas kepada para petambak.

"Sejak dulu sampai sekarang, tidak ada satu pun dari kami yang mendapat jaminan hidup dari pemerintah. Kami menyulap lahan tidak produktif menjadi produktif, dan banyak hambatan harus dihadapi. Kami jujur dan rajin membayar pajak, tapi kenapa jalan yang rusak parah tidak diperbaiki," tutur Sabar Riyadi, seorang petambak.
Petambak lainnya, Anwar dan Ispitanyo, mendesak pemerintah memperpanjang larangan impor udang yang akan memukul produk dalam negeri. Mereka juga minta kepastian hukum dari lahan yang menjadi tempat usaha. Selain itu, pemerintah diminta menata green belt atau "sabuk hijau" kawasan tambak agar terlindung dari kerusakan dan pencemaran.

Petambak sangat khawatir karena Pemerintah Kabupaten Tulangbawang memberikan sebagian peruntukan lahan tambak ke perusahaan lain untuk perkebunan tebu. Padahal, pupuk yang digunakan perkebunan itu berpotensi mengancam tambak udang. Jika udang tercemar kimia tertentu akan ditolak atau diembargo importir. Ancaman ini sudah dikeluarkan Uni Eropa.
Freddy dan Mari berjanji akan melaporkan masalah yang dikemukakan para petambak kepada menteri terkait di Sidang Kabinet. Soal jalan rusak, misalnya, akan dilaporkan ke Menteri Pekerjaan Umum. Larangan impor udang yang berakhir 28 Juni ini akan diperpanjang sampai enam bulan ke depan. Sedangkan soal sabuk hijau akan dibicarakan dengan pemda setempat.

Tahun ini, 1.780 petambak plasma CPB juga berhasil melunasi utang kepada bank senilai Rp 450 miliar. Para petambak mengambil kredit rata-rata Rp 150 juta per plasma sejak tahun 1996. Penghasilan mereka pun cukup besar, bisa mencapai Rp 100 juta hingga Rp 120 juta per tahun, dengan panen rata-rata setiap enam bulan.
Keajaiban

Vice President PT CPB Johannes Kitono mengatakan, pihaknya telah menciptakan banyak lapangan kerja. Selain ribuan petambak rakyat yang menjadi plasma, ada sekitar 12.000 warga yang menjadi karyawan CPB dan 600 UKM sebagai pemasok berbagai material. Belum lagi puluhan ribu anggota keluarga petambak dan karyawan yang bisa hidup sejahtera.

"Dulu lahan di sini terlantar. Warga yang pernah menjadi perambah hutan bisa mengolah ribuan hektare tambak udang dengan kerja keras, bahkan sanggup membayar kredit dan pajak penghasilan dalam jumlah besar. Ini suatu keajaiban. Mereka seharusnya mendapat bintang jasa," ujar Johannes.

Apalagi, menurut Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) Iwan Sutanto, menjadi petambak bukan pekerjaan mudah. Banyak tantangannya, mulai dari harga solar yang tinggi, pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk primer, peraturan daerah yang memberatkan, serangan penyakit pada udang, serta standarisasi budi daya udang hingga persyaratan internasional yang cukup berat.

Isu-isu internasional yang terkait dengan pengembangan budi daya perikanan, antara lain isu lingkungan, pembangunan berkelanjutan, perdagangan bebas, perlindungan dan jaminan mutu makanan, ekolabeling, antidumping, rule of origin dan hak asasi manusia.
Baca Selengkapnya..

CP Prima Jangan Tekan Plasma

KERUGIAN yang dialami PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima) sebagai pengelola tambak udang di Dipasena jangan dijadikan alasan untuk menekan petambak plasma yang ada di lokasi.“Sebab yang namanya rugi atau untung dalam usaha itu sudah biasa, tetapi kerugian jangan itu dijadikan alasan untuk menekan plasma atau petani tambak. Jangan kalo rugi di besar-besarkan tetapi kalau untung diam saja,” kata Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Provinsi Lampung, Yuria Putra Tubarad, Senin (26/4).Dikatakan dia, saat ini yang perlu dilakukan CP Prima untuk menekan atau mengurangi kerugian yang mereka derita adalah mencari penyebabnya, sehingga bisa dilakukan perbaikan, tetapi jangan merugikan petani plasma yang ada.Sebab jika petani plasma sudah terganggu tentu saja mereka akan menjadi korban dan itu akan berdampak terhadap iklim investasi yang ada di daerah, selain itu juga bisa berakibat Dipasena kembali bergolak seperti yang pernah terjadi dibawah manajemen lama.“Kita berharap persoalan ini bisa cepat diselesaikan dan alangkah lebih baik mengajak plasma untuk membahasnya, bahkan Kadinda siap memvasilitasinya jika memang diperlukan” jelasnya lagi.Hal sama juga dikatakan Ketua Komisi II DPRD Lampung, A Junaidi Auli, bahwa hendakanya kerugian yang dialami perusahaan udang tersebut jangan sampai berimbas ke plasma. “Memang saat ini, belum ada aduan baik secara tertulis ataupun langsung dari plasma tentang kondisi Dipasena. Kendati demikian, kita terus memantau karena perusahaan undang tersebut merupakan salah satu investasi besar yang ada di Lampung,” kata politisi PKS itu.Ketika ditanyakan, apakah DPRD akan memanggil CP Prima untuk mengetahui secara langsung kondisi perusaaan udang tersebut, Junaidi menjawab bahwa sepanjang tidak adanya pengaduan, tentu saja dewan tidak akan membahasnya secara khusus, kendati di media masa masalah kerugian yang dialami CP Prima sudah diketahui. ***Terlambat PanenSeperti dirilis koran ini sebelumnya, salah satu petambak plasma Dipasena, Thowilun, Rabu (21/4) mengatakan, dalam beberapa bulan terakhir, ia bersama sekitar 500 warga petambak lain terlambat panen udang.Panen udang biasanya dilakukan setiap 45 hari sekali, tapi akhir-akhir ini menjadi tiga atau empat bulan sekali. Hal itu tentunya akan mempengaruhi produksi, pendapatan petambak, dan kinerja keuangan CP Prima, katanya.Keterlambatan panen udang tersebut disebabkan benur yang seharusnya diperoleh dari CP Prima dalam bentuk barang jadi tidak datang tepat pada waktunya. "Manajemen perusahaan berdalih kesulitan keuangan," kata Thowilun.Namun, Manager komunikasi internal dan eksternal CP Prima George H Basoeki membantah keterlambatan penyebaran benur, karena hanya terjadi Januari lalu akibat musim hujan.Namun, sejak Februari lalu hingga saat kini tidak ada lagi masalah dengan pasokan benur. "Saya kira, tidak ada masalah lagi dengan benur dan jadwal sudah berjalan dengan baik," tuturnya.Terkait program revitalisasi Dipasena, George mengatakan, manajemen CP Prima tetap berkomitmen merealisasikan sesuai jadwal yang ditetapkan.Penjualan bersih CP Prima merosot 16,37 persen menjadi Rp6,83 triliun pada 2009 dibanding tahun sebelumnya senilai Rp8,17 triliun.Penurunan ini antara lain dipicu anjloknya harga udang di pasar internasional dan penurunan volume ekspor ke berbagai negara, terutama Amerika Serikat dan Eropa. Sebab, ekonomi di AS dan Eropa belum pulih total.Kendati penjualan turun, manajemen CP Prima dapat menekan kerugian sekitar 47 persen menjadi Rp217,17 miliar dari tahun sebelumnya Rp407,18 miliar. (LE-4) Sumber : http://www.lampung-news.com Baca Selengkapnya..

PLASMA TOLAK PENURUNAN BHPP

Petambak plasma PT Central Pertiwi Bahari (CPB) --anak perusahaan Central Proteinaprima Tbk (CPP) menolak penurunan BHPP (biaya hidup petambak plasma) oleh managemen. Besarnya penurunan Rp 350 ribu per bulan untuk jangka waktu enam bulan.

Penolakan ini disampaikan Supriyono, Ketua Tim Pembahas Kemitraan Petambak Plasma (TPKPP) PT Central Pertiwi Bahari saat hearing (dengar pendapat, Red) dengan DPRD Tulangbawang, Kamis (1/4). Supriyono bersama 15 orang yang hadir mewakili petambak yang ada di dua kampung. Yaitu Kampung Bratasena Adiwarna dan Bratasena Mandiri, Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulangbawang.

Supriyanto merinci bahwa BHPP yang diberikan selama ini adalah Rp 1,2 juta per bulan ditambah paket natura Rp 350 ribu. "Itu saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan biaya hidup jika tidak ada insentif lainnya," jelasnya. Belum lagi, lanjut Supriyanto, pemotongan BHPP untuk angsuran kredit ke Koperasi Unit Desa (KUD) rata-rata Rp 500 ribu per petambak plasma.

Padahal, dalam kurun waktu tahun 2004 hingga 2008, PT CPB mendapatkan keuntungan yang cukup besar. "Hingga ratusan miliar rupiah setiap tahun," bebernya. Sedangkan, petambak plasma dari tahun ke tahun mengalami kerugian hingga Rp 884,781 miliar pada akhir 2008. Kemudian pada Juni 2009, kerugian mencapai Rp 921,803 miliar.
"Padahal awal terjalinnya hubungan kemitraan antara plasma dengan pihak managemen sangat baik," cetusnya. "Namun, akhir-akhir ini semakin memburuk. Dan menyalahi prinsip dasar kemitraan seperti saling menguntungkan dan berkesinambungan," tambahnya.

Sementara Kepala Kampung Bratasena Mandiri Sugiyanto yang turut mendampingi tim itu mengharapkan anggota dewan dapat menanggapi serius masalah yang disampaikan warganya. Itu mengingat kebutuhan ekonomi masyarakat yang semakin menghimpit. Terutama untuk pendidikan dan kesehatan anak. "Jangan sampai menginginkan kemitraan tersebut terputus," ujar Sugiyanto diamini Kepala Kampung Bratasena Adiwarna M Anwar.(*) Sumber : http://therakyatlampung.com
Baca Selengkapnya..

Petambak Plasma Minta Subsidi BBM

Kalangan petani tambak plasma dari PT Central Pertiwi Bahari (CPB), PT Wachyuni Mandiri, dan PT Aruna Wijaya Sakti meminta pemerintah memberikan subsidi bahan bakar untuk pembangkit listrik yang dikelola perusahaan inti. Supriono, petambak plasma PT CPB di Jakarta, Rabu, mengatakan, selama ini, petambak plasma memanfaatkan pembangkit listrik yang dikelola perusahaan inti yang dikenakan tarif listrik untuk industri.

"Kondisi tersebut sangat membebani kami sehingga kami meminta kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi bahan bakar untuk pembangkit listrik tersebut," katanya.
Bagi petambak udang, selain untuk penerangan, listrik juga digunakan sebagai pemutar turbin guna menjaga kesegaran oksigen yang sangat dibutuhkan oleh udang-udang dalam tambak.
Menurut dia, dengan pengenaan tarif listrik industri tersebut, maka petambak harus membeli listrik ke perusahaan inti sebesar Rp1500/kwh, sedangkan jika membeli di luar sekitar Rp850-Rp900/kwh.

Oleh karena itu, lanjut Saefudin, petambak plasma PT Aruna Wijaya Sakti, pemerintah bisa memberikan subsidi bahan bakar untuk pembangkit listrik yang dikelola perusahaan ini atau subsidi tarif listrik. "Atau perusahaan listrik negara memberikan sambungan listrik ke lokasi pertambakan plasma," katanya.

Selain itu, para petambak anak perusahaan-anak perusahaan PT Centraproteina Prima (CP Prima itu) meminta pemerintah meninjau ulang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bahan baku perikanan serta memberikan harga subsidi terhadap pupuk urea dan TSP yang juga digunakan petani tambak. "Dengan demikian, diharapkan kesejahteraan plasma dapat ditingkatkan dan daya saing produk kami bisa setara dengan produk internasional," kata Yusuf Eko Saputra, petambak plasma PT Wachyuni Mandira.

Sementara itu, Komisaris Utama PT CP Prima Hardian P Widjonarko mengakui petambak plasma menggunakan BBM yang dibeli perusahaan inti dengan tarif industri.
Menurut dia, pemerintah tetap bisa mengenakan tarif industri untuk perusahaan inti sedangkan bagi petambak plasma sebaiknya diberikan subsidi sehingga meningkatkan keuntungan mereka. "Masa tarif listrik untuk plasma diatas tarif PLN. Kalau tarif listrik untuk plasma sama dengan yang di Jakarta, maka mereka akan lebih untung," katanya. Sumber : http://id.news.yahoo.com
Baca Selengkapnya..

Petani Plasma di Lampung Perlu Dilindungi

Petambak plasma perlu dilindungi dari dampak kerugian yang dialami PT Central Proteinaprima Tbk (CP Prima), sebagai pengelola tambak udang di Dipasena Provinsi Lampung. Ketua Komisi II, DPRD Provinsi Lampung, A Junaidi Auli, mengatakan, hendaknya kerugian yang dialami perusahaan udang tersebut tidak sampai berimbas ke petambak plasma.

"Kerugian itu jangan menjadi alasan untuk menekan petambak plasma yang ada di lokasi," ujarnya, di Bandar Lampung. Sejauh ini belum ada pengaduan baik secara tertulis ataupun langsung dari petani plasma tentang kondisi Dipasena tersebut. Tapi, pihaknya terus memantau, karena walau bagaimana pun juga perusahaan udang tersebut merupakan salah satu investasi besar yang ada di Lampung dan banyak menyerap tenaga kerja, baik yang berasal dari Lampung dan daerah lain.

Ketika ditanyakan, apakah DPRD akan memanggil CP Prima untuk mengetahui secara langsung kondisi perusaaan udang tersebut, Junaidi menjawab bahwa sepanjang tidak adanya pengaduan, tentu saja dewan tidak akan membahasnya secara khusus. Senada dengan itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Daerah (Kadinda) Provinsi Lampung, Yuria Putra Tubarad, mengatakan, yang perlu dilakukan CP Prima adalah mencari penyebabnya, agar bisa menyelesaikannya. Sebab, jika petani plasma sudah terganggu tentu saja mereka akan menjadi korban. Dan, itu akan berdampak terhadap iklim investasi yang ada di daerah.

Selain itu juga bisa berakibat Dipasena kembali bergolak seperti yang pernah terjadi di bawah manajemen lama. "Kita berharap persoalan ini bisa cepat diselesaikan dan alangkah lebih baik mengajak plasma untuk membahasnya, bahkan Kadinda siap memvasilitasinya jika memang diperlukan," jelasnya. (VI/OL-2)Sumber : http://www.mediaindonesia.com
Baca Selengkapnya..

DPRD BAHAS PLASMA CPB

PT Citral Pratiwi Bahari (CPB) melakukan hearing bersama di ruang rapat DPRD Tulangbawang (Tuba) mengenai permasalahan dengan Petambak Plasma tentang penurunan biaya hidup mereka. Hal itu dikatakan Ketua DPRD Tulangbawang Winarti dalam hearing bersama pihak Managemen PT CPB yang di wakili Pepen Nyoman serta Roswantama dan Pemkab Tuba di wakili Asisten I bidang Pemerintahan Kirnali M Yus mendampingi Kadis Disnakertran Abdul Syukur, Kadis Peternakan,Perikanan dan Kelautan Agliber Sihombing.

“Untuk mengambil keputusan tentang permasalahan dengan pihak Plasma yang akan di turunkan biaya Hidup mereka senilai Rp 350.000/bulan yang sangat memberatkan pihak plasma dan kalau itu terjadi diharapkan pihak managemen bersama dengan pihak plasma membuatkan kesepakatan secara tertulis yang di setujui kedua belah pihak.”kata Winarti, Senin (19/4)

Adapun pihak managemen PT CPB yang telah beberapa kali tidak memenuhi panggilan DPRD untuk Klaripikasi permasalahan yang ada mengingat selama ini pihak DPRD hanya mengetahui sebelah pihak dari Plasma saja , pihak managemen telah memaparkan permasalahan yang ada di pihak PT CBP sendiri,dalam pemaparan tersebut dapat di simpulkan bahwa PT CPB sekarang ini masih mengalami kerugian di dalam budidaya karena di dalam budidaya Udang tersebut ada Virus sehingga proses budidaya yang di laksanakan petambak tidak berhasil.

“Kita sebagai lembaga DPRD penengah antara pihak Petambak Plasma dengan pihak PT CPB dan kita tidak memihak kepada siapapun dan k hanya sebagai pasilitasi agar dalam mengambil keputusan tersebut, tidak ada kerugian di antara kedua belah pihak,” ungkapnya. Dia menjelaskan, berdasarkan hasil Hhearing tersebut. pihak managemen akan melaporkan permasalahan ini ke Top Managemen di Jakarta untuk di tindak lanjuti.

“Sedangkan seakarang ini pihak managemen dalam mengantisipasi krisis yang ada di pihak PT CPB telah mengurangi beberapa kegiatan yaitu pemotongan biaya makan untuk Managemen di hapuskan sedangkan untuk mengantisipasi kemelut di dalam budidaya di arahkan untuk tebar mandiri melalui budidaya ikan payau seperti bandeng dan lain sebagainya,” ujarnya.

Untuk itu dia mengatakan dalam hal keputusan yang akan di ambil nanti oleh pihak managemen PT CPB di Jakarta akan selalu berkordinasi dengan pihak DPRD serta selama ini pihak DPRD tidak pernah putus komunikasi dengan pihak Plasma PT CPB tersebut, mengingat pihak Plasma merupakan masyarakat kabupaten Tulangbawang yang harus di selesaikan dan di harapkan pihak PT CPB harus jujur jangan mengambil keputusan memberatkan salah satu pihak. (DA-6) Sumber : http://www.lampung-news.com
Baca Selengkapnya..

CPB HARUS JUJUR

Ketua DPRD Kabupaten Tulangbawang Winarti, S.E., mengatakan bahwa Manajemen PT. Central Pertiwi Bahari di Jakarta di harapkan dapat mengambil keputusan yang tidak merugikan kedua belah pihak, mengenai permasalahan PT. Central Pertiwi Bahari (CPB) dengan petambak plasma di Kecamatan Dente Teladas, Kabupaten Tulangbawang.
Hal itu terungkap ketika Trans Lampung menjumpainya di ruang kerja usai hearing dengan Manajemen PT Central Pertiwi Bahari, Selasa (19/4). Acara tersebut dihadiri langsung oleh pihak Manajemen PT. CPB yang di wakili oleh Presiden Direktur Roswan Tama, beserta anggotanya yakni Pepen dan Nyoman.

Sedangkan dari pemkab diwakili oleh Asisten 1 Bidang Pemerintahan Kirnali M. Yus, beserta Kadisnakertran Hi. Abdul Syukur dan Kadis Peternakan, Perikanan dan Kelautan Agliber Sihombing, untuk mengambil keputusan tentang permasalahan yang menimpa petani plasma yang akan diturunkan biaya hidupnya oleh perusahaan senilai Rp350 ribu/bulan, yang dinilai sangat memberatkan petani.
”Karena itu, kami berharap Manajemen PT. Central Pertiwi Bahari di Jakarta dapat mengambil keputusan yang tidak merugikan kedua belah pihak terkait masalah ini,” ujar Winarti.

Lebih lanjut Winarti mengharapkan, manajemen perusahaan bersama pihak plasma dapat membuat kesepakatan secara tertulis yang disetujui oleh kedua belah pihak. ”Pihak manajemen telah memaparkan permasalahan yang ada di perusahaan. Dalam pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa PT. CPB sekarang ini masih mengalami kerugian di dalam budidaya, karena budidaya udang tersebut terserang virus, sehingga proses budidaya yang dilaksanakan petambak tidak berhasil,” jelasnya.

Dikatakan Winarti, DPRD sebagai penengah antara pihak plasma dan PT CPB, tidak memihak kepada siapapun. ”Kita hanya sebatas memfasilitasi agar dalam mengambil keputusan tidak ada kerugian diantara kedua belah pihak,” jelasnya.

Berdasarkan hasil hearing tersebut, pihak manajemen akan melaporkan permasalahan ini ke Top Manajemen di Jakarta, guna ditindaklanjuti. Dan saat ini pihak managemen untuk mengantisipasi krisis yang ada di perusahaan itu, PT CPB telah mengurangi beberapa kegiatan, yaitu pemotongan biaya makan untuk manajemen dihapuskan. Sedangkan untuk mengantisipasi kemelut di dalam budidaya, diarahkan guna tebar mandiri melalui budidaya ikan payau, seperti bandeng dan lain sebagainya.

Winarti juga mengatakan keputusan yang akan diambil oleh pihak manajemen PT CPB di Jakarta akan selalu berkordinasi dengan pihak DPRD. Dan sejauh ini pihak DPRD tidak pernah putus komunikasi dengan pihak plasma, mengingat pihak plasma juga merupakan masyarakat Kabupaten Tulangbawang yang harus diselesaikan permasalahannya.
”Dan diharapkan kepada pihak PT. CPB, dapat jujur, jangan mengambil keputusan yang memberatkan salah satu pihak,” jelasnya. (cw17/sa) Sumber : http://translampung.com
Baca Selengkapnya..

PLASMA CPB GELAR AKSI DAMAI

Ribuan plasma tambak udang Bratasena menggelar aksi damai guna menyampaikan aspirasi mereka menuntut pihak manajemen perusahaan
tidak melakukan pengurangan tunjangan hidup, apa pun alasannya, Kamis (15-4).
Aksi damai ribuan karyawan yang berlangsung sejak Rabu (14-4) akan terus digelar sampai pihak perusahaan mengabulkan permintaan mereka. Ribuan plasma dengan mengendarai sepeda motor melakukan konvoi dari kantor (office) hingga ke lapangan basket depan housing.

Informasi yang dihimpun Lampung Post menyebutkan rencana pemotongan dana tunjangan hidup plasma sudah disosialisasikan ke seluruh plasma.
Ketua Tim Pembahasan Kemitraan Petambak Plasma (TPKPP) PT CPB, Supiono, mengatakan unjuk rasa secara damai itu dilakukan plasma untuk menolak penurunan biaya hidup selama enam bulan; April--Oktober. Dia mengaku penurunan biaya hidup itu sangat memberatkan para plasma. "Unjuk rasa penolakan ini akan lakukan sampai perusahaan memenuhi tuntutan kami," kata dia.

Berdasarkan informasi yang diterima Lampung Post, ada sekitar 2.700 plasma keberatan dengan rencana kebijakan perusahaan yang mengaku kondisi keuangan sedang pailit. Sebab, pihak perusahaan berencana mengurangi dana tunjangan hidup plasma sebesar Rp350 ribu.
Sebelumnya, para plasma mendapat dana tunjangan hidup Rp1,2 juta per bulan, plus natura (kebutuhan pokok), seperti beras 35 kg, minyak tanah 20 liter, mi instan satu dus, minyak goreng 3 kg, kopi satu bungkus, sabun mandi, dan sabun cuci dua batang.
Namun, pihak perusahaan telah mengurangi jatah natura berupa minyak tanah yang sebelumnya 20 liter sebulan kini hanya 15 liter.
Dalam surat edaran rencananya pengurangan dana tunjangan hidup itu, pihak perusahaan akan melakukan sistem variasi. Plasma Tebar Mandiri dana tunjangan hidup dikurangi Rp350 ribu, plasma budi daya dikurangi Rp100 ribu, dan plasma yang kerap pulang ke kampung dikurangi Rp500 ribu.

"Kami sudah membentuk tim dan di antaranya mengadu ke DPRD Tulangbawang. Memang pengurangan tunjangan hidup belum terlaksana karena pencairan setiap tanggal 14. Sampai hari ini kami belum mengambil tunjangan hidup," kata plasma itu.
Sementara itu, Assistant Vice President Corporate Community Bratasena, Goerge Basuki, membantah melakukan pengurangan tunjangan itu. "Saat ini, masih dalam perundingan internal kami dan belum final. Entah kenapa kawan-kawan sudah menyampaikan aspirasinya. Saya kurang paham berapa besaran tunjangan hidup itu dan rencana pengurangannya. Nanti, saya lihat dulu," kata dia, via ponselnya, kemarin.

Bahkan, George Basuki berjanji akan menghubungi Lampung Post dua jam lagi. Dia juga menolak menjelaskan kondisi perusahaan hingga berencana mengambil kebijakan pengurangan tunjangan hidup. "Nanti saya hubungi dua jam lagi ke nomor Anda ini. Saya kurang paham, nanti kami jelaskan," kata dia.

Beberapa saat berikutnya, sesuai janji, George Basuki kembali menghubungi
Lampung Post dan menjelaskan bahwa potongan tunjangan hidup bervariasi. Bagi plasma berbudi daya maksimal 20 persen; tidak berbudi daya maksimal 10 persen. "Dari nilai tunjangan itu, masih akan dibahas di internal," kata dia.

Penolakan penurun biaya hidup tersebut sudah dilakukan para plasma sejak Januari 2010. Namun, penolakan itu tidak digubris pihak perusahaan. Bahkan, plasma juga pernah mengadukan masalah tersebut ke bupati dan ketua DPRD setempat. Akibat penurunan biaya hidup membuat hubungan kemitraan antara plasma dan inti memburuk. (DRA/LUT/CK-5) Sumber : http://www.lampungpost.com
Baca Selengkapnya..

RIBUAN PLASMA CPB DEMO

Petambak plasma PT Central Pertiwi Bahari (CPB) menggelar unjuk rasa besar-besar di Kampung Bratasena Adiwarna, Kecamatan Denteteladas, Kabupaten Tulangbawang (Tuba). Plasma menuntut, perusahaan untuk tidak menurunkan biaya hidup selama enam bulan yang diberlakukan April –Oktober 2010.

Menurut Ketua Tim Pembahasan Kemitraan Petambak Plasma (TPKPP) PT CPB, Supiono menjelaskan unjuk rasa secara damai tersebut,sejak Rabu hingga Kamis 14-15 itu dilakukan plasma untuk menolak penurunan biaya hidup selama enam bulan April-Oktober. “Penurunan biaya hidup itu sangat memberatkan para plasma. Unjuk rasa penolakan ini akan lakukan sampai perusahaan memenuhi tuntutan mereka,” ujarnya.

Untuk itu, lanjut dia, demo secara besar-besar dilakukan seluruh plasma di lapangan bola di depan kantor PT CPB. para plasma menghentikan semua kegiatan karena mereka menuntut hak yang dikurangi oleh perusahaan, para plasma mengancam akan melakukan mogok kerja sampai tuntutan mereka dipenuhi perusahaan.

Penurunan biaya hidup yang dilakukan oleh perusahaan tersebut dinilai dilakukan secara sepihak, disaat semua harga sembako mahal, biaya hidup kami dikurangi. Kami minta ini jangan dilakukan karena ini akan memberatkan kami selaku plasma di CPB ini Ditambakanya, penolakan penurun biaya hidup tersebut sudah dilakukan para plasma sejak Januari 2010. Namun, penolakan itu tidak mendapat gubrisan dari pihak perusahaan tersebut. Bahkan, plasma juga pernah mengadukan masalah tersebut ke bupati dan ketua DPRD setempat. “Akibat penurunan biaya hidup tersebut membuat hubungan kemitraan antara plasma dan inti memburuk,” ujar dia.

Penurunan biaya hidup itu mulai diberlakukan perusahaan April-Oktober. Setiap plasma akan dikurangi senilai Rp350 ribu. Secara perincinya, untuk biaya hidup Rp1,2 juta menjadi Rp900 ribu dan sembako dari Rp350 ribu menjadi Rp300 ribu</span>.

Para plasma menilai penurunan biaya hidup tersebut dilakukan secara sepihak oleh perusahaan, karena tidak dibahas terlebih dahulu dengan para plasma. (DA-6) Sumber : http://www.lampung-news.com
Baca Selengkapnya..

WARGA BRATASENA TUDING CPB CURANG

Warga Kampung Bratasena Adiwarna dan Kampung Bratasena Mandiri Kecamatan Denteteladas Tulangbawang meminta eksekutif (pemerintah kabupaten) dan legislatif (DPRD) setempat untuk dapat memfasilitasi persoalan pihaknya dengan PT Centra Pertiwi Bahari (CPB).

Desakan ini disampaikan 15 orang perwakilan warga yang tergabung dalam Tim Pembahas Kemitraan Petambak Plasma (TPKPP) CPB di Gedung DPRD Tulangbawang, Kamis (1/4). Ketua TPKPP PT CPB Supriyono membeberkan, persoalan muncul dikarenakan dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, PT CPB bermaksud menurunkan biaya hidup mereka sebesar Rp350 ribu per bulan yang terhitung dalam waktu enam bulan.

Warga pun dengan tegas menolaknya. Alasannya, imbuh Supriyono, biaya hidup mereka yang hanya senilai Rp1,2 juta ditambah dengan paket natura berkisar Rp350 ribu per bulan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bila tidak ada instrument insentif lainnya. Sementara jumlah tersebut juga telah dipotong angsuran kredit koperasi unit desa (KUD) sebesar Rp500.000. “Selain itu, dalam hubungan kemitraan yang seharusnya saling menguntungkan dan berkesinambungan ini juga telah menyalahi prinsip dasar kemitraan. Hal itu dibuktikan dengan data profil singkat PT CPB yang menyebutkan dari tahun 2004-2008, perusahaan mendapat keuntungan ratusan miliar rupiah, sedangkan plasma mengalami kerugian hingga Rp884.781.000.000,” ujar Supriyono. Bahkan, sebutnya, dalam kemitraan ini juga telah terjadi monopoli perdagangan sarana produksi tambak (saprotam), termasuk pembelian udang segar yang tidak sesuai dengan kesepakatan yang ditetapkan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung sebelumnya.

“Petambak plasma sangat mengalami kerugian, karena rendahnya harga beli udang sedangkan biaya operasional budidaya udang sendiri sangat tinggi,” keluh Supriyono didampingi camat Denteteladas, dua kepala kampung serta dua BPK kampung setempat.
Rombongan warga ini sendiri diterima langsung oleh Ketua DPRD Winarti, Asisten I Pemkab Tulangbawang Kirnali M Yus, Wakil Ketua Edi Anwar, Wakil Ketua Komisi A Bukhoiri Muzamil dan anggota komisi A lainnya serta para anggota DPRD yang berasal dari daerah pemilihan (dapil) I yang meliputi Kecamatan Menggala, Gedung Meneng dan Denteteladas. (rif)
……Sumber : http://therakyatlampung.com
Baca Selengkapnya..