Rabu, 30 Juni 2010

Mengembalikan Kejayaan Budidaya Udang

Masa kelam industri udang Tanah Air sejak tahun 2003 membawa sektor ini tertatih-tatih menapak kebangkitan. Kini budidaya udang mulai memasuki babak baru dalam upaya memutus rantai persoalan di tingkat hulu. Sejak Februari 2009, pemerintah mengoperasikan pusat perbanyakan pemuliaan (multiplication broodstock center) udang vaname di Desa Gelung, Kecamatan Panarukan, Situbondo, Jawa Timur. Pusat perbanyakan pemuliaan itu dibuat untuk menghasilkan induk udang vaname. Pusat pemuliaan serupa juga akan beroperasi di Karangasem, Bali, tahun ini.
Pusat pemuliaan induk udang vaname di Gelung memiliki 12 bak pengembangan calon induk berukuran 60 meter kubik. Enam bak sudah dioperasikan dan diisi 600.000 ekor benih udang (benur). Metode pemuliaan udang dilakukan dengan pola resirkulasi pengairan secara tertutup. Air buangan dari bak pemuliaan induk akan diolah dengan menggunakan teknik penyaringan (filterisasi) bakteri, pengendapan, penetralan amoniak, dan penyaringan kotoran, lalu dimasukkan kembali ke dalam bak. ”Metode resirkulasi tertutup bertujuan menghindari kondisi air yang kurang bagus dan mempertahankan parameter kualitas air. Kestabilan kualitas air diharapkan meningkatkan produksi udang,” kata Slamet Subiyakto, Kepala Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo.

Menurut Slamet, kondisi lingkungan dan kualitas air yang tidak menentu, baik kadar salinitas maupun alkalinitas, menjadi salah satu penyebab merosotnya produksi udang Indonesia. Pusat perbanyakan pemuliaan induk diharapkan menghasilkan udang bermutu yang dapat beradaptasi dengan kondisi perairan dan tahan penyakit.
Melalui proses seleksi individu, hanya 60.000 ekor atau 10 persen dari setiap bak yang diloloskan menjadi induk. Seleksi calon induk meliputi pertumbuhan, daya tahan penyakit, dan morfologi. ”Pemuliaan induk udang vaname dalam negeri untuk memutus ketergantungan pada induk impor,” katanya.
Dimulai BBAP Situbondo

Rekayasa genetika untuk pemuliaan induk udang vaname di dalam negeri sebenarnya dimulai oleh BBAP Situbondo sejak tahun 2003 di Pecaron, Situbondo. Pemuliaan induk udang dilakukan dengan metode perkawinan silang induk asal Hawai, Florida, dan lokal yang bebas penyakit (SPF). Persilangan itu diikuti dengan metode seleksi individu untuk memperoleh induk unggulan.

Tahun 2008, rekayasa genetika itu menghasilkan induk udang vaname sebanyak 240.000 ekor, serta benur-benur calon induk. Namun, sosialisasi dan distribusi yang minim, hanya di Pulau Jawa, menyebabkan tingkat penyerapan induk dan benur sangat terbatas. Penyerapan induk udang dalam negeri hanya 30.299 atau 12 persen dari total produksi. Penyerapan benur hanya 360 juta ekor atau 0,9 persen dari total kebutuhan 36,76 miliar ekor.

Dengan adanya pusat perbanyakan pemuliaan induk, produksi induk unggulan nasional itu diharapkan meningkat dan dipasarkan ke tempat-tempat pembenihan (hatchery) rakyat.Induk udang hasil pemuliaan dijual Rp 25.000 per ekor, atau jauh lebih rendah ketimbang induk impor, yaitu Rp 450.000 per ekor. Sementara itu, harga benur Rp 17-Rp 20 per ekor, atau separuh dari harga benur impor sebesar Rp 35 per ekor.

Pemerintah menargetkan pusat pemuliaan induk udang vaname di Gelung menghasilkan 720.000 ekor induk per bulan. Sementara itu, pusat pemuliaan induk di Karang Asem ditargetkan menghasilkan 640.000 ekor per bulan. Slamet mengatakan, keberadaan pusat perbanyakan pemuliaan induk udang itu tidak akan sanggup memenuhi semua kebutuhan induk dan benur bagi petambak. Maka, keterlibatan swasta untuk mengembangkan induk dan benur diperlukan.

Di tingkat nasional, produksi udang hingga kini masih di bawah target kendati secara kuantitas menempati urutan kedua terbesar setelah rumput laut. Tahun 2009, pemerintah optimistis menaikkan target produksi udang sebesar 540.000 ton. Guna mencapai target itu, diperlukan induk udang sedikitnya 900.000 ekor dan benur udang 52,31 miliar ekor.

Sementara itu, kebutuhan benur untuk revitalisasi mencapai 7,95 juta ekor.
Budidaya udang Indonesia pernah menoreh masa keemasan pada era 1980-an, ditandai dengan komoditas udang windu menjadi primadona ekspor yang menyumbang 15 persen dari total ekspor nonmigas. Pada tahun 1985-1988, misalnya, terjadi kenaikan ekspor udang dari 30.800 ton senilai 202,3 juta dollar AS menjadi 56.552 ton senilai 499,85 juta dollar AS.

Tahun 2002, produksi udang vaname mencapai puncaknya, yang digambarkan sebagai ”serba 70”. Harga benur Rp 70 per ekor dengan kemampuan menghasilkan udang ukuran 70 per kg hanya dalam waktu 70 hari.Namun, puncak dari produksi udang tidak diikuti dengan upaya mempertahankan mutu induk, perbaikan kualitas tambak, dan daya dukung lingkungan. Induk udang vaname belum bisa diproduksi di dalam negeri sehingga benur udang selalu diimpor setiap tahun.

Masa kelam
Tahun 2003, industri udang memasuki masa kelam. Udang windu terserang penyakit yang mematikan. Sekitar 60 persen dari 410.000 tambak tradisional hancur akibat gagal panen. Tahun 2005, pemerintah mencanangkan pembenahan budidaya udang sebagai prioritas revitalisasi perikanan. Upaya mendongkrak industri udang nasional dengan memproduksi induk unggulan nasional memang masih membutuhkan pengujian. Kini, sebagian pelaku usaha budidaya udang mulai mencoba menggunakan induk unggulan nasional itu.

Ketua Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto mengatakan, budidaya udang vaname selama ini sangat bergantung pada pasokan benur impor asal Amerika Serikat, yang harganya tergolong mahal. Perdagangan induk impor yang dimonopoli kartel besar membuat pembelian induk impor kerap terkendala. Harga benur yang mahal dan persyaratan berbelit menyebabkan sebagian usaha pembenihan udang tiarap. Itu terjadi karena serangan penyakit udang beberapa tahun lalu sehingga sulit untuk bangkit.
”Upaya pemuliaan induk udang unggulan nasional yang tidak kalah dengan induk impor diharapkan menghidupkan kembali pusat pembenihan dan tambak-tambak udang rakyat yang mati,” katanya.

Di Jawa Timur, lanjut Iwan, tujuh dari delapan produsen benih yang terpuruk sejak beberapa tahun lalu kini mulai menggunakan benih itu. Penggunaan benur unggulan nasional itu diprediksi mampu menurunkan biaya produksi sebesar Rp 1.500 per kg.
Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) Shidiq Moeslim mengingatkan, upaya membangkitkan kejayaan perikanan budidaya bukan perkara mudah. Dibutuhkan langkah serius dan konsisten mulai dari proses hulu hingga ke hilir.
Sumber http://bisniskeuangan.kompas.
Baca Selengkapnya..

Kamis, 17 Juni 2010

Plasma eks Dipasena butuh perlindungan

Penurunan volume produksi udang akibat serangan virus pada pertambakan PT Central Pertiwi Bahari (CPB) tidak memberi pengaruh besar pada keseluruhan pendapatan induk usahanya (PT CP Prima). Produksi PT CPB jatuh sekitar 1.200 ton per bulan dari puncak produksi sebelumnya (5.000 ton udang per bulan).
Strategi berganti, CP Prima mengalihkan sisa produksi untuk memenuhi permintaan pelanggan-pelanggan utama di manca-negara.
Mereka meraup keuntungan dari selisih nilai tukar uang sebesar Rp563,82 miliar, sebagai dampak dari menguatnya rupiah atas US$ kurang lebih 14,16% di sepanjang 2009. Keuntungan ini dapat menutupi rendahnya penghasilan akibat penurunan volume produksi.
Kualitas industri udang tidak dapat dilihat semata kapasitas produksi dan pendapatannya, namun patut ditinjau dalam konteks keadilan yakni adil secara lingkungan dan sosial. Kondisi ribuan petambak plasma Bumi Dipasena Jaya kian merisaukan.
Terakhir berdasarkan surat Perhimpunan Petambak Bumi Depasena (P3UW) No. A.III/131/BPP-P3UW/VI/2010 diketahui bahwa telah terjadi tindak manipulatif yang merugikan petambak dalam hal penetapan harga udang oleh CP Prima.
Berdasarkan penelitian Kiara, penyimpangan ini diawali oleh perjanjian kerja sama (PKS) yang cenderung mengeksploitasi kepentingan petambak dengan mewajibkan pembelian input yakni pakan, air, listrik, benur dan jasa lainnya yang harganya diintervensi oleh perusahaan.
PKS adalah perjanjian yang tidak berlandaskan aturan negara. Posisinya menjadi illegal, sehingga memampukan perusahaan memperluas usaha dengan risiko rendah, sementara beban utang dan risiko kerugian besar di pihak plasma. Plasma tetap merugi walau hasil panen memuaskan.
Pada PKS Neptune antara PT Aruna Wijaya Sakti/ AWS (anak perusahaan CP Prima) dan plasma dijelaskan bahwa harga dasar jual beli udang mengacu pada harga yang diolah dan diterbitkan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tulang Bawang.
Berdasarkan Surat P3UW No. A.III/131/BPP-P3UW/VI/2010 diketahui bahwa penentuan harga udang tidak transparan dan amat menguntungkan perusahaan.
PT AWS memberi harga Rp31 .000 per kg untuk udang kualitas bagus jenis vannamei, sementara di pasar tradisional, harga udang jenis yang sama adalah Rp35.000 per kg dan bisa dipastikan kalah segar dari hasil panen plasma.
Plasma juga merugi pada nilai volume produksi udang. Standar kualitas udang atau first quality (FQ) didasarkan pada penilaian PT AWS dengan ambang batas 40% per ton atau sekitar 4 kuintal udang yang dikategorikan berkualitas bagus dan dibayar dengan harga tertinggi atau Rp 31.000 per kg.
Sisanya di bawah harga tersebut. Persoalan kualitas dibebankan kepada plasma. Padahal pihak yang memanen, mengangkut, mengawasi udang sampai di coldstorage adalah perusahaan.
Praktik eksploitatif terhadap petambak di Bumi Dipasena tidak dapat ditoleransi dan perlu segera diakhiri.
Untuk itu pemerintah perlu segera menyiapkan tim pencari fakta untuk menindaklanjuti laporan para petambak, sekaligus menyiapkan langkah hukum untuk melindungi para petambak plasma.
M. Riza Damanik
Sekjen Kiara
Jl. Tegal Parang Utara No. 43
Mampang, Jakarta 12790
Sumber http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A01&cdate=16-jun-2010&inw_id=738245
Baca Selengkapnya..

Rabu, 16 Juni 2010

Sejahtera secara bermartabat (dalam perspektif Pola Kemitraan PT CP Bahari)

Kita sering mendengar cita–cita kaum muda untuk Indonesia adalah menjadikan Indonesia lebih baik ,lebih bermartabat,lebih demokratis,mandiri serta penegakan hukum yang baik dan seterusnya. Itulah cita–cita kita bersama dalam berbangsa dan bernegara .pada kesempatan ini saya tidak akan mengulas semua itu .kita akan menjadi bagianya di kemudian hari. Kami hari ini ingin melihat keadaan diri kami yang menjalankan proses usaha dengan pola kemitraan dengan PT.CPB ,apakah prinsip – prinsip yang berlaku universal itu ada dalam kehidupan usaha kami.maka kami mengambil tema sejahtera secara bermartabat.

Pertanyaan pertama tentu kita bertanya dulu apakah kita sudah sejahtera ? Sejahtera ukuranya sangat jelas dalam dunia usaha,kalau kita mengacu pada karyawan maka UMP + masa kerja + prestasi mungkin bisa diperkirakan apakah kita sudah sejahtera atau belum.sebagian sudah dan kebanyakan pasti belum hal ini berlaku untuk karyawan.Tapi patut disyukuri bahwa kita sampai hari ini masih berkarya untuk pekerjaan kita.sayangnya kami bukan karyawan tapi kami juga peduli.

Kami petambak plasma adalah mitra usaha perusahaan PT.CPB berdasarkan sejarah dan kesepakatan yang kami tanda tangani.Maka ukuran sejahtera adalah apakah kami berhasil berbudidaya atau tidak .yang tercermin dalam seberapa baik ukuran neraca keuangan petambak plasma. saat ini dengan keterpurukan budidaya akibat IMNV hutang kami mencapai kurang lebih 1,2 trilyun atau rata – rata per petambak Plasma 400 Juta

Maka dari segi ini dapat disimpulkan kami belum sejahtera. Sebagai tambahan kami juga mendapatkan Pinjaman Biaya Hidup + natura sebesar 1,3 Juta perbulan.Dari segi inipun dapat disimpulkan juga belum sejahtera. Kamipun masih mensyukuri apa yang kami dapat saat ini sebagai sebuah proses berusaha yang masih bisa diperbaiki di masa yang akan datang. Pertanyaan yang kedua adalah apakah performa diatas didapatkan dengan cara yang bermartabat ? Hal ini cukup sensitive untuk menjawabnya karena menyangkut masalah social. Untuk menjawab ini saya akan bedakan menjadi dua :

• Pertama bermartabat secara kemanusian dalam hubungan usaha berdasarkan pola kemitraan hak–hak manusia sangat dihormati dan pada kenyataanya pun hal ini berjalan dengan baik dengan segala dinamikanya .dalam soal ini patut kita syukuri .

• Yang kedua bermartabat secara usaha dengan keadaan neraca keuangan yang begitu jelek serta tidak sebanding dengan nilai jaminan yang diakui sangat jelas hal ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam.


Apakah juga keadaan neraca yang ada memang benar hasil dari kenerja budidaya petambak yang buruk,ataukah system yang diterapkan yang tidak baik. Sebagai catatan saja system yang buruk itu lebih kejam dari seorang pembunuh.seorang pembunuh secara personal hanya mampu menimbulkan kerugian bagi sebagian orang yang disekitarnya dan biasanya tidak terlalu banyak .sedangkan system yang buruk akan mengakibatkan kerugian yang massif bagi banyak orang yang terlibat dalam system itu.

Kami sangat meyakini bahwa kinerja budidaya kami sebagi petambak dapat dikategorikan cukup berhasil karena mendorong perusahaan inti mendapatkan keuntungan yang besar dari transaksi–transaksi dengan kami. Kalau kami terpuruk sedangkan kinerja budidaya baik sudah jelas permasalahanya adalah pada system yang diterapkan. Apakah system kemitraan ini sudah dijalankan dengan baik ,apakah juga menghasilkan sebuah kemajuan yang bermartabat bagi kedua belah pihak dan lingkunganya.jawabanya bagi kami jelas belum

sejahtera dan keadaan ini dihasilkan dari sebuah system yang dijalankan tidak dengan bermartabat.yang seharusnya kami bisa mengecap kesejahteraan. tentunya ini akan kami tagih dengan kesederhanaan kami. Dalam teori penyelesaian sebuah konfilk kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan biologis dan psykologis manusia tidak hanya memerlukan kebutuhan seperti makan,pakain dan perumahan tetapi juga membutuhkan keamanan,jati diri dan pengakuan.yang sering kali dalam menyelesaikan perselisihan hal ini sering diabaikan dan jika tidak dapat dipenuhi akan merupakan bibit – bibit perpecahan di kemudian hari.Kita semua tidak mengininkan konflik apaun jenisnya ,kita tidak menginginkan musuh tapi kita menginginkan lawan untuk mengasah kebijaksanaan kita untuk sesama.

Kecintaan kami akan tempat ini mendorong kami memberikan opini dari perspektif petambak semoga menjadi koreksi dan lawan bagi kebijakan-kebijaksanaan kita .

Baca Selengkapnya..

Selasa, 15 Juni 2010

Harga Jual Udang Petambak ke CP Prima Rendah

Polemik di tambak bekas PT Dipasena Citra Darmaja seolah tak pernah usai. Yang terbaru, Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu (P3UW) Lampung

mengeluhkan rendahnya harga jual udang dari petambak kepada PT Aruna Wijaya Sakti (AWS), anak usaha PT Central Proteinaprima (CP Prima) sebagai perusahaan inti.

Para petambak mengatakan, harga jual udang ukuran 60 gram hasil panen petambak kepada AWS hanya Rp 31.000 per kilogram (kg). Harga tersebut lebih rendah dibanding harga pasar Rp 37.000 per kg. Maka, ”Meskipun kami panen, tapi merugi,”kata Nafian Faiz, Ketua Umum P3UW kepada KONTAN, Senin (7/6).

Nafian menambahkan, penetapan harga jual udang petambak plasma ke AWS tersebut lebih rendah dibandingkan harga di petambak lain di Sumatera, apalagi Surabaya. Di pasaran lokal Lampung, misalnya, udang vanamei bisa dijual dengan harga Rp 35.000 per kg, padahal dengan kualitasnya lebih rendah dibanding udang milik para petambak.

Nafian pun menuding penetapan harga beli udang dari petambak yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Lampung tidak transparan dan tidak sesuai dengan perjanjian kerjasama.

Menurut dia, harga udang yang ditetapkan DKP tidak sesuai dengan keinginan plasma karena mengacu pada harga udang di pasar lokal bukan banderol di pabrik. Padahal, semestinya, penentuan mengacu kepada harga tempat penyimpanan (coldstorage) udang di Surabaya, Jakarta, dan Lampung. Merasa tidak adil, para petambak pun melaporkan kasus ini ke DPRD Lampung, Mei lalu.

Sumber KONTAN yang lama menggeluti bisnis udang juga menilai, harga jual udang dari petambak kepada AWS sangatlah rendah. Semestinya, udang berukuran 60 dihargai Rp 37.000 per kg, bukan
Rp 31.000 per kg. Adapun udang berukuran 50 dan 70 semestinya dihargai Rp 41.000 dan Rp 34.000 per kg. “Kasihan petambaknya jika di beli murah,” kata sumber itu.
Asnil Bambani Amri
Sumber : http://www.kontan.co.id/index.php/bisnis/news/38255/Harga-Jual-Udang-Petambak-ke-CP-Prima-Rendah
Baca Selengkapnya..