Kamis, 17 Juni 2010

Plasma eks Dipasena butuh perlindungan

Penurunan volume produksi udang akibat serangan virus pada pertambakan PT Central Pertiwi Bahari (CPB) tidak memberi pengaruh besar pada keseluruhan pendapatan induk usahanya (PT CP Prima). Produksi PT CPB jatuh sekitar 1.200 ton per bulan dari puncak produksi sebelumnya (5.000 ton udang per bulan).
Strategi berganti, CP Prima mengalihkan sisa produksi untuk memenuhi permintaan pelanggan-pelanggan utama di manca-negara.
Mereka meraup keuntungan dari selisih nilai tukar uang sebesar Rp563,82 miliar, sebagai dampak dari menguatnya rupiah atas US$ kurang lebih 14,16% di sepanjang 2009. Keuntungan ini dapat menutupi rendahnya penghasilan akibat penurunan volume produksi.
Kualitas industri udang tidak dapat dilihat semata kapasitas produksi dan pendapatannya, namun patut ditinjau dalam konteks keadilan yakni adil secara lingkungan dan sosial. Kondisi ribuan petambak plasma Bumi Dipasena Jaya kian merisaukan.
Terakhir berdasarkan surat Perhimpunan Petambak Bumi Depasena (P3UW) No. A.III/131/BPP-P3UW/VI/2010 diketahui bahwa telah terjadi tindak manipulatif yang merugikan petambak dalam hal penetapan harga udang oleh CP Prima.
Berdasarkan penelitian Kiara, penyimpangan ini diawali oleh perjanjian kerja sama (PKS) yang cenderung mengeksploitasi kepentingan petambak dengan mewajibkan pembelian input yakni pakan, air, listrik, benur dan jasa lainnya yang harganya diintervensi oleh perusahaan.
PKS adalah perjanjian yang tidak berlandaskan aturan negara. Posisinya menjadi illegal, sehingga memampukan perusahaan memperluas usaha dengan risiko rendah, sementara beban utang dan risiko kerugian besar di pihak plasma. Plasma tetap merugi walau hasil panen memuaskan.
Pada PKS Neptune antara PT Aruna Wijaya Sakti/ AWS (anak perusahaan CP Prima) dan plasma dijelaskan bahwa harga dasar jual beli udang mengacu pada harga yang diolah dan diterbitkan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Tulang Bawang.
Berdasarkan Surat P3UW No. A.III/131/BPP-P3UW/VI/2010 diketahui bahwa penentuan harga udang tidak transparan dan amat menguntungkan perusahaan.
PT AWS memberi harga Rp31 .000 per kg untuk udang kualitas bagus jenis vannamei, sementara di pasar tradisional, harga udang jenis yang sama adalah Rp35.000 per kg dan bisa dipastikan kalah segar dari hasil panen plasma.
Plasma juga merugi pada nilai volume produksi udang. Standar kualitas udang atau first quality (FQ) didasarkan pada penilaian PT AWS dengan ambang batas 40% per ton atau sekitar 4 kuintal udang yang dikategorikan berkualitas bagus dan dibayar dengan harga tertinggi atau Rp 31.000 per kg.
Sisanya di bawah harga tersebut. Persoalan kualitas dibebankan kepada plasma. Padahal pihak yang memanen, mengangkut, mengawasi udang sampai di coldstorage adalah perusahaan.
Praktik eksploitatif terhadap petambak di Bumi Dipasena tidak dapat ditoleransi dan perlu segera diakhiri.
Untuk itu pemerintah perlu segera menyiapkan tim pencari fakta untuk menindaklanjuti laporan para petambak, sekaligus menyiapkan langkah hukum untuk melindungi para petambak plasma.
M. Riza Damanik
Sekjen Kiara
Jl. Tegal Parang Utara No. 43
Mampang, Jakarta 12790
Sumber http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=127&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&vnw_lang_id=2&ptopik=A01&cdate=16-jun-2010&inw_id=738245

Tidak ada komentar: