Minggu, 16 Januari 2011

SENGKETA PETAMBAK BEKAS DIPASENA PEMERINTAH TERJUNKAN TIM KHUSUS

Bandar Lampung - Pemerintah membentuk tim untuk menyelesaikan sengketa antara petambak plasma bekas Dipasena Citra Darmaga dan CP Prima, yang memanas sejak beberapa hari lalu. Ribuan petambak PT Aruna Wijaya Sakti, anak perusahaan CP Prima, menuntut revitalisasi tambak seluas 16 ribu hektare yang terbengkalai. Tuntutan ini berujung pada aksi pendudukan aset perusahaan.
"Pekan ini tim sudah bekerja dan turun ke lokasi," kata Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad melalui pesan pendek kepada Tempo di Bandar Lampung kemarin. Tim bakal mengecek program revitalisasi yang menjadi bagian dari pengambilalihan aset milik pengusaha Syamsul Nursalim dari PT Perusahaan Pengelola Aset lima tahun lalu.

Fadel menyayangkan sikap tertutup CP Prima dalam menyelesaikan sengketa antara petambak plasma dan perusahaan inti. Padahal tambak udang bekas Dipasena merupakan aset penting untuk menggenjot produksi udang nasional. Akibat gejolak ini, produksi udang nasional berkurang. "Saya menyayangkan sikap CP Prima yang tidak kooperatif," katanya. Keputusan tentang sengketa diharapkan rampung dalam sepekan ini.
Langkah pemerintah disambut positif para petambak. Mereka menyatakan siap membuka seluruh akses menuju lokasi tambak agar tim mendapat data yang sebenarnya di lapangan. "Itu yang kami tunggu-tunggu," kata Thowilun, Wakil Ketua Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu Dipasena (P3UW). Para petambak sepakat memberi tenggat 15 Januari ini revitalisasi harus berjalan.

Tapi petambak ragu atas kemampuan CP Prima mengelola tambak modern melalui PT Aruna Wijaya Sakti. Mereka juga mempertanyakan dana revitalisasi dari pemerintah dalam bentuk dana standby di bank. "Dengan dana Rp 1 triliun perbaikan seharusnya selesai," katanya. Faktanya, baru 5 dari 16 blok yang direvitalisasi, tapi diklaim CP Prima sudah 95 persen yang direvitalisasi.
Akibat revitalisasi yang lambat, petambak terjerat utang hingga Rp 200 juta. Sebab, perusahaan memaksa petambak menandatangani akad kredit modal kerja dan investasi di sejumlah bank. Padahal sebagian besar penerima kredit belum bisa berproduksi karena tambak masih kering. "Kami belum tahu uang yang kami pinjam dari bank untuk apa," kata Sukri Bintoro, Sekretaris P3UW.

Menanggapi tudingan bersikap tertutup, Corporate Communication Manajer CP Prima George Basoeki mengatakan, pihaknya siap mengadakan pembicaraan bersama perwakilan petambak dengan mediasi pemerintah. "Kami siap," kata Basoeki sembari membantah tudingan bahwa pihaknya bersikap tertutup. Dia menilai para petambak memboikot dan keluar dari perundingan. "Itu yang kami sayangkan," katanya.
Basoeki mengklaim revitalisasi mencapai 95 persen dan sudah beres. Unjuk rasa petambak, kata dia, bukan karena revitalisasi, melainkan menuntut pembebasan Ketua P3UW Nafian Faiz, yang ditahan aparat kepolisian. Tapi Nafian, yang dihubungi Tempo di Rumah Tahanan Menggala, Tulangbawang, mengatakan unjuk rasa petambak tak ada urusan dengan penahanan dirinya. "Masalah utama, ya, lambatnya revitalisasi," katanya. | Nurochman Arrazie
________________________________________
Petambak Makin Terjepit
Tambak Dipasena adalah aset yang diberikan pemiliknya, Sjamsul Nursalim, sebagai penutup utang Rp 28,4 triliun kepada pemerintah pada 1998. Saat itu aset Dipasena dinilai Rp 20 triliun. Tapi nilai aset melorot tak lebih dari Rp 5,2 triliun karena utang petambak yang dijamin perusahaan macet.
Setelah dimiliki pemerintah lewat Perusahaan Pengelola Aset, Dipasena dilego ke konsorsium Neptune dan CP Prima. Konsorsium ini memenangi tender aset yang ditaksir Rp 21 triliun, tapi dibeli hanya dengan Rp 2,3 triliun. Harga itu pun cuma dibayar Rp 688 miliar dan sisanya masuk rekening penampungan untuk program revitalisasi tambak.
Selain revitalisasi, CP Prima wajib memperbaiki sarana perusahaan, saluran air dan menjamin petambak kembali produksi. Semua pekerjaan itu harus selesai dalam 18 bulan sejak penandatanganan kontrak pada 2007. Tapi revitalisasi tak kunjung beres. Sekitar 7.900 petambak terjerat utang ratusan juta rupiah.
Petambak setidaknya menanggung utang Rp 20 juta dari peninggalan Syamsul, Rp 125 juta utang modal ke Bank BNI, dan utang yang bertambah setiap bulan ke perusahaan inti Rp 900 ribu per bulan sejak revitalisasi pada akhir 2007. "Kalau revitalisasi tidak selesai, utang ini terus menggunung," kata Thowilun, Wakil Ketua P3UW. Nurochman Arrazie

Sumber http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2011/01/11/Ekonomi_dan_Bisnis/krn.20110111.223552.id.html

Tidak ada komentar: